Mohon tunggu...
Talitha Imtiyaz
Talitha Imtiyaz Mohon Tunggu... Lainnya - siswa

bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dibalik Pengabdian

25 November 2024   10:47 Diperbarui: 10 Desember 2024   20:45 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut adalah cerpen bertema "Di Balik Pengabdian" dengan inspirasi dari film Bila Esok Ibu Tiada yang dijadikan cerpen lebih mendalam

---

Di Balik Pengabdian

Pagi itu, mentari enggan menembus jendela rumah kecil di sudut desa. Awan mendung menggantung, seolah ikut merasakan beban hati Siti. Wanita itu duduk di ranjang bambu, mengelus kepala anak bungsunya yang masih terlelap. Wajah anak itu, Dinda, mengingatkannya pada masa-masa indah bersama suaminya sebelum ajal merenggut pria itu beberapa tahun lalu.

Siti menghela napas panjang. Hidup sebagai ibu tunggal dengan dua anak, Dinda dan kakaknya, Reza, bukanlah perkara mudah. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari ayam berkokok untuk memasak nasi bungkus yang dijualnya di pasar. Ia rela bekerja tanpa lelah demi memastikan anak-anaknya tidak kelaparan dan mendapatkan pendidikan yang layak.

Namun, akhir-akhir ini tubuhnya sering terasa lemah. Batuk berkepanjangan yang mengganggu tidurnya beberapa bulan terakhir mulai membuatnya cemas. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi ia terlalu takut menghadapi kenyataan. Bagaimana nasib anak-anaknya jika ia benar-benar jatuh sakit?

Hari itu, seperti biasa, Siti menuju pasar dengan langkah gontai. Di tangannya, kantong plastik berisi nasi bungkus yang ia buat sepanjang malam. Hujan mulai turun, namun ia terus melangkah tanpa memperdulikan dingin yang merasuk ke tulang.

Setibanya di pasar, ia menggelar lapaknya di sudut sempit yang sering ia tempati. Beberapa pelanggan setia datang membeli, memberikan senyum hangat yang menjadi penyemangatnya.

"Siti, kamu terlihat pucat sekali. Sudah periksa ke dokter?" tanya Bu Rina, salah satu pelanggan yang sudah seperti temannya.

Siti hanya tersenyum kecil. "Ah, tidak apa-apa, Bu. Mungkin cuma kecapekan."

Namun, di balik senyumnya, ia menyembunyikan rasa sakit yang makin hari makin menusuk.

Saat siang menjelang, ia pulang ke rumah dengan sisa nasi bungkus yang belum terjual. Dinda sudah pulang dari sekolah, duduk di ruang tamu dengan seragam yang sedikit kusut.

"Ibu, Dinda dapat nilai 90 di ulangan matematika tadi!" serunya bangga sambil menunjukkan buku pelajarannya.

Siti tersenyum, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Hebat, Nak. Ibu bangga padamu."

Namun, ada sesuatu yang mengusik pikiran Siti. Ia tahu, ia mungkin tidak akan bisa terus berada di sisi anak-anaknya.

Rahasia yang Disembunyikan

Malam itu, Siti kembali terbatuk-batuk parah hingga membangunkan Dinda. Anak kecil itu mendekat, mengusap punggung ibunya.

"Ibu kenapa? Sakit?" tanya Dinda dengan nada penuh kekhawatiran.

"Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya kecapekan," jawab Siti sambil berusaha menenangkan anaknya.

Namun, batuk itu tidak kunjung reda. Setelah Dinda kembali tidur, Siti membuka kotak tua di bawah ranjangnya. Di dalamnya, tersimpan beberapa lembar hasil pemeriksaan medis dari puskesmas. Dokter mengatakan ia mengidap penyakit paru-paru stadium lanjut, dan waktu yang dimilikinya tidak banyak.

Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tidak takut mati, tetapi ia takut meninggalkan anak-anaknya. Siapa yang akan merawat mereka? Siapa yang akan memastikan mereka tidak putus sekolah?

Benturan Generasi

Reza, anak sulungnya, pulang larut malam dengan jaket kulit yang terlihat lusuh. Remaja berusia 17 tahun itu sering membuat Siti khawatir. Ia tidak lagi fokus pada sekolah, lebih sering menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman yang Siti tidak kenal.

"Reza, kenapa kamu selalu pulang malam? Ibu sudah bilang, prioritaskan sekolahmu," kata Siti dengan nada lelah.

Reza menghela napas panjang. "Ibu, aku sudah besar. Aku tahu apa yang aku lakukan."

"Tapi, Reza, masa depanmu ada di sekolah. Jangan sia-siakan."

Reza berdiri, menatap ibunya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ibu cuma tahu bagaimana menyuruh. Apa ibu pernah pikir aku juga capek? Aku muak hidup miskin seperti ini!"

Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hati Siti. Ia tahu Reza tidak benar-benar membencinya, tetapi mendengar itu dari anaknya sendiri membuatnya merasa gagal sebagai ibu.

Persiapan untuk Pergi

Hari demi hari berlalu, dan kondisi Siti semakin memburuk. Ia mulai mempersiapkan apa yang bisa ia tinggalkan untuk anak-anaknya. Ia menulis surat untuk Reza dan Dinda, berisi pesan-pesan terakhir dan harapan-harapan yang belum sempat ia ucapkan secara langsung.

Suatu malam, ia memanggil Reza ke kamarnya.

"Reza, Nak, ibu ingin bicara."

Reza, yang tampaknya masih marah, duduk di sudut ranjang tanpa berkata apa-apa.

"Ibu tahu, hidup kita tidak mudah. Ibu tahu kamu lelah. Tapi, Nak, ibu ingin kamu tahu bahwa semua yang ibu lakukan adalah demi kamu dan Dinda."

Reza menatap ibunya, matanya mulai berkaca-kaca. "Ibu selalu bilang begitu. Tapi aku juga butuh hidup, Bu. Aku capek melihat ibu terus bekerja sampai sakit."

Siti mengangguk perlahan. "Ibu tahu. Dan ibu minta maaf kalau ibu tidak bisa memberikan lebih. Tapi, Nak, janji pada ibu, jaga adikmu. Jadilah pria yang bertanggung jawab. Karena ibu tidak tahu sampai kapan ibu bisa mendampingi kalian."

Kata-kata itu menggema di kepala Reza. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa besar beban yang dipikul ibunya.

Hari Terakhir

Pagi itu, Siti memaksa dirinya bangun meskipun tubuhnya terasa sangat lemah. Ia ingin memasak sarapan terakhir untuk anak-anaknya.

Namun, ketika Dinda dan Reza bangun, mereka menemukan ibunya terkulai di lantai dapur. Reza segera mengangkat tubuh Siti ke ranjang, sementara Dinda menangis histeris.

"Ibu, bangun! Jangan tinggalin Dinda!" teriak anak kecil itu.

Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Siti berkata, "Reza, Dinda... kalian harus kuat. Ibu selalu mencintai kalian."

Itu adalah kata-kata terakhirnya.

Di Balik Pengabdian

Kepergian Siti meninggalkan luka mendalam bagi Reza dan Dinda. Namun, di balik duka itu, mereka mulai memahami makna pengabdian seorang ibu.

Reza berhenti bergaul dengan teman-teman yang tidak baik. Ia mengambil pekerjaan sambilan untuk membiayai sekolah Dinda, seperti yang pernah dijanjikannya pada Siti.

Setiap malam, ia membaca surat yang ditinggalkan ibunya. Dalam surat itu, ibunya menulis:

> "Nak, ibu tidak pernah menyesal mengabdikan hidup untuk kalian. Karena kalian adalah alasan ibu bertahan hidup. Jangan pernah menyerah, karena ibu akan selalu ada dalam setiap langkah kalian."

Dinda, yang kini tumbuh menjadi remaja cerdas, sering menceritakan mimpinya kepada Reza. "Aku ingin jadi dokter, Kak, supaya aku bisa membantu orang-orang seperti ibu."

Reza mengangguk sambil menatap langit malam. Ia tahu, ibunya sedang tersenyum bangga di sana.

---

Di balik pengabdian seorang ibu, ada cinta yang tak bertepi dan pengorbanan yang tak terucap. Meski Siti telah tiada, semangatnya terus hidup dalam hati anak-anaknya, menjadi pendorong bagi mereka untuk meraih mimpi-mimpi yang pernah ia perjuangkan.

---

Cerpen ini menggambarkan pengorbanan, cinta, dan pelajaran berharga tentang arti pengabdian seorang ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun