Saat siang menjelang, ia pulang ke rumah dengan sisa nasi bungkus yang belum terjual. Dinda sudah pulang dari sekolah, duduk di ruang tamu dengan seragam yang sedikit kusut.
"Ibu, Dinda dapat nilai 90 di ulangan matematika tadi!" serunya bangga sambil menunjukkan buku pelajarannya.
Siti tersenyum, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Hebat, Nak. Ibu bangga padamu."
Namun, ada sesuatu yang mengusik pikiran Siti. Ia tahu, ia mungkin tidak akan bisa terus berada di sisi anak-anaknya.
Rahasia yang Disembunyikan
Malam itu, Siti kembali terbatuk-batuk parah hingga membangunkan Dinda. Anak kecil itu mendekat, mengusap punggung ibunya.
"Ibu kenapa? Sakit?" tanya Dinda dengan nada penuh kekhawatiran.
"Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya kecapekan," jawab Siti sambil berusaha menenangkan anaknya.
Namun, batuk itu tidak kunjung reda. Setelah Dinda kembali tidur, Siti membuka kotak tua di bawah ranjangnya. Di dalamnya, tersimpan beberapa lembar hasil pemeriksaan medis dari puskesmas. Dokter mengatakan ia mengidap penyakit paru-paru stadium lanjut, dan waktu yang dimilikinya tidak banyak.
Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tidak takut mati, tetapi ia takut meninggalkan anak-anaknya. Siapa yang akan merawat mereka? Siapa yang akan memastikan mereka tidak putus sekolah?
Benturan Generasi