Reza, anak sulungnya, pulang larut malam dengan jaket kulit yang terlihat lusuh. Remaja berusia 17 tahun itu sering membuat Siti khawatir. Ia tidak lagi fokus pada sekolah, lebih sering menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman yang Siti tidak kenal.
"Reza, kenapa kamu selalu pulang malam? Ibu sudah bilang, prioritaskan sekolahmu," kata Siti dengan nada lelah.
Reza menghela napas panjang. "Ibu, aku sudah besar. Aku tahu apa yang aku lakukan."
"Tapi, Reza, masa depanmu ada di sekolah. Jangan sia-siakan."
Reza berdiri, menatap ibunya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ibu cuma tahu bagaimana menyuruh. Apa ibu pernah pikir aku juga capek? Aku muak hidup miskin seperti ini!"
Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hati Siti. Ia tahu Reza tidak benar-benar membencinya, tetapi mendengar itu dari anaknya sendiri membuatnya merasa gagal sebagai ibu.
Persiapan untuk Pergi
Hari demi hari berlalu, dan kondisi Siti semakin memburuk. Ia mulai mempersiapkan apa yang bisa ia tinggalkan untuk anak-anaknya. Ia menulis surat untuk Reza dan Dinda, berisi pesan-pesan terakhir dan harapan-harapan yang belum sempat ia ucapkan secara langsung.
Suatu malam, ia memanggil Reza ke kamarnya.
"Reza, Nak, ibu ingin bicara."
Reza, yang tampaknya masih marah, duduk di sudut ranjang tanpa berkata apa-apa.