Setibanya di gerbang, pandanganku menyapu setiap sudut tempat para orang tua untuk menjemput anak-anaknya. Aneh sekali, ibuku tidak terlihat dimana pun. 15 menit berlalu dan aku masih menunggu. Sambil mondar-mandir Ibu tak muncul juga. Wajahku mulai kecut. Orang-orang di sekitar mulai memperhatikanku.Â
    "Ih lama banget." batinku.Â
    Setelah beberapa lama akhirnya ibu muncul juga. Tapi raut wajahnya mengatakan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Entah apa itu yang penting aku ingin cepat tiba di rumah.
    Sesampainya di rumah, ibu hanya duduk terdiam sambil memandangi ponselnya dan ditemani kakakku yang berada disampingnya. Tidak ada yang mereka bicarakan. Aku yang masih sibuk mengganti pakaian di kamar dikelilingi oleh rasa penasaran. Aku mengira-ngira hal apa yang telah terjadi sehingga mereka hanya saling terdiam tanpa mengatakan satu patah kata pun. Setelah keluar dari kamar aku segera mendekat alih-alih membaca keadaan di ruangan ini. Namun, nihil. Aku tidak dapat mengambil kesimpulan. Hanya ekspresi muram yang kulihat dari keduanya.Â
    "Ayah di PHK."Â
    Aku tertegun. Tak pernah ku menyangka kata tersebut akan dilontarkan oleh ibu. Aku kira hal semacam ini hanya terjadi di dalam sinetron. Namun ternyata tidak. Pikiranku terlalu sempit. Ini semua terasa tidak nyata. Bagaimana caraku untuk memahami keadaan ini?Â
    Akhirnya ibu pun memberi penjelasan atas kejadian ini. Dengan ekspresi kecewa, ia berkata bahwa perusahaan tempat ayahku bekerja memutuskan untuk memberhentikannya bukan atas dasar kesalahan yang ayahku lakukan, melainkan karena hal bodoh yang dilakukan oleh bawahannya. Sejak dua tahun silam, sang pelaku telah melakukan pencurian terhadap barang-barang milik perusahaan.Â
    Setelah mendengarnya aku semakin bingung. Bagaimana bisa ayahku juga mendapat imbasnya? Untuk apa ia menopang kesalahan yang tidak diperbuatnya? Ia tak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Bahkan ayahku telah bekerja selama belasan tahun untuk perusahaan tersebut. Tidakkah mereka mempercayai kinerjanya sejauh ini? Tidak adil.
    Selagi aku berdebat dalam pikiranku, kusadari keadaan begitu hening. Seakan dunia sedang berhenti dan membiarkan kami menerima pahitnya hidup ini. Perlahan, air mataku mulai menetes di kedua pipiku.Â
    Ya Allah, ujian ini begitu berat