Dan di sana, dalam sunyi yang dingin, Lena menyadari satu hal. Mimpi memang bisa menjadi luka ketika tak seorang pun mencoba mengerti.
Matahari perlahan bergerak ke arah barat, cahayanya yang hangat mulai berbaur lembut, membasuh langit dengan kilau oranye dan merah jambu.
Sejak kejadian tadi, Lena tidak keluar dari kamarnya sama sekali, bahkan dirinya melewatkan jam makan siangnya. Tak lama suara ketukan pintu terdengar, dan saat pintu terbuka, tampaklah ayahnya berdiri di ambang pintu. Dengan ragu Lena mempersilahkan ayahnya masuk. Tanpa basa-basi, ayah duduk di tepi tempat tidur dan menatap Lena dengan serius.
"Lena, maafkan ayah jika perkataan ayah membuatmu kesal," ucap ayahnya dengan nada lembut namun tegas. "Ayah ingin memberikan penawaran untukmu. Jika kamu berhasil memenangkan salah satu lomba di bidang yang kamu sukai, kamu boleh memilih jurusan yang kamu inginkan."
Lena menatap ayahnya sejenak, lalu bertanya dengan suara pelan, "Kalau aku gagal, yah?"
Ayah menarik napas, lalu menjawab, "Kalau kamu gagal, kamu harus mengikuti permintaan ayah dan mengambil jurusan keperawatan."
Lena menundukkan kepalanya, memikirkan semua kerja keras yang sudah ia lakukan. Ia menguatkan hatinya, lalu berkata dengan penuh keyakinan, "Baiklah, Ayah. Aku yakin bisa menang."
Ayahnya tersenyum tipis, tampak sedikit lega. "Kalau begitu, ayah tunggu beritanya." Setelah mengangguk pelan, ayahnya pun beranjak keluar.
Lena terdiam sejenak setelah sang ayah tak tampak dalam penglihatannya. Di kepalanya, berputar bayangan-bayangan kekhawatiran dan tantangan di depannya. Satu lomba, satu kesempatan. Kalau gagal, seluruh impian yang ia bangun akan berakhir. Tapi, tekadnya bulat. "Ini jalanku," pikir Lena, seolah berkata pada dirinya sendiri. "Aku akan menunjukkan bahwa ini bukan sekadar mimpi kosong."
Hari demi hari berlalu, waktu terasa melesat tanpa henti. Para mahasiswa baru kini tenggelam dalam kesibukan yang padat. Tugas, perkenalan, dan tuntutan adaptasi berputar menjadi rutinitas baru mereka. Ada yang tampak bersemangat, menyerap setiap pelajaran dan kesempatan, sementara yang lain tampak masih canggung, mencoba menemukan tempatnya di tengah hiruk-pikuk dunia kampus yang penuh tantangan dan janji baru.
"Cukup sekian kelas hari ini," ucap dosen, memecah kesunyian di ruang kelas.