Cahaya gemintang bersinar indah di atas cakrawala, menembus jendela rumah, menemani rembulan yang berdiri anggun di tengah pekatnya malam.
Seorang gadis bermata almond yang sendu memandangi langit lewat jendela kamarnya, dagunya bertumpu pada kedua tangan yang diletakkan pada bingkai jendela yang terbuka lebar. Udara dingin malam menyelinap, membuat rambut panjang yang terurai bergerak lembut seiring angin yang berhembus.
Ia menghela napas panjang, seolah ingin mengusir gumpalan sesak yang tertanam di dadanya. Suara-suara tak menyenangkan yang dilontarkan kepadanya, terbenam di pikiran.
"Seharusnya aku tetap semangat, bukan? Tak peduli apa kata orang. Ini kehidupanku." Bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin.
Dengan langkah perlahan, gadis itu kembali berjalan ke arah meja belajar. Ia menggengam erat sandaran kursi, membawanya mendekat, dan menyamankan dirinya.
Jari-jarinya dengan lincah menari di atas keyboard, mengetik "Lenaira Angelita, SMA Tri Husada". Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sebuah link yang tertera di layar, dengan format 'National Videography Competition'. Dengan penuh tekat dan keyakinan, tombol Enter pun ditekan, mengirimkan link pengumpulan kepada panitia.
Sang surya perlahan merangkak di langit timur, sementara di meja makan, sarapan berlangsung dalam hening. Tak ada suara lain selain dentingan alat makan yang terdengar di ruangan. Semua tampak fokus untuk menikmati makanan yang telah disajikan. Lena tak bisa menepis pikiran tentang lombanya kemarin, pikirannya terus berkecemuk seputar lomba videografinya. Perasaan bercampur aduk antara harapan dan ketakutan memenuhi benaknya.
"Lena, mengingat jalur pendaftaran kampus selanjutnya akan dibuka bulan depan, kamu sudah memutuskan mau mendaftar ke universitas mana? Ayah sarankan universitas dengan jurusan keperawatan terbaik." ujar ayahnya, memecah keheningan, pandangannya mengarah penuh harap pada Lena.
Lena tersentak dari lamunannya, dengan perlahan ia mendongakkan kepala, menatap sang ayah. Bibirnya yang mengatup rapat itu bergetar, seakan menahan kata-kata yang ingin meluncur keluar. Bayangan kekecewaan di wajah ayahnya terasa begitu nyata.
Dengan penuh pertimbangan, Lena akhirnya mengeluarkan suara. Berharap kali ini perasaannya akan baik-baik saja. "Ayah. Maaf tapi Lena tak berniat untuk masuk keperawatan."
Senyum hangat di wajah ayahnya perlahan memudar. Napas Lena tercekat seketika, seakan pasokan oksigen enggan menghampirinya. Memandang wajah ayahnya yang berbeda dalam sedetik.