Pengalaman kesejarahan tak hanya dapat diuraikan dan dipelajari melalui ilmu sejarah. Karya sastra sebagai dokumen sosial budaya juga kerap disusupi unsur kesejarahan pada bagian alur, tokoh, latar, maupun sudut pandang. Karya sastra menjadi sarana penyampaian aspirasi, amanat, hingga gambaran masa lalu yang sungguh-sungguh terjadi. Meski tidak menutup kemungkinan akan adanya unsur fiksi yang menyokong penceritaan, karya sastra tetap dapat dikategorikan sebagai rekaman peristiwa-peristiwa sejarah. Peristiwa erat kaitannya dengan karya sastra, begitu pula unsur kesejarahan yang erat kaitannya dengan era kolonialisme.
Cerpen "Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia" mengandung rekam jejak kolonialisme. Cerpen ini berlatar sosial budaya dan sejarah, yaitu pada masa kolonialisme Hindia Belanda di Nusantara, di mana wabah tuberkulosis menjadi penyakit mematikan yang menghantui seluruh entitas manusia. Dalam cerpen ini, dikisahkan gambaran mengenai pendudukan Belanda yang diwakili oleh seorang tokoh perempuan bernama Lucretia.
Orientalisme kerap dimaknai sebagai konstruksi historis terhadap masyarakat Timur beserta kebudayaannya sebagai “sesuatu yang asing”. Namun, “asing” di sini bukan lagi dimaknai sebagai indah atau eksotis, melainkan aneh dan berbahaya. Menurut pandangan Barat, Timur sangat memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai kaum bar-bar, bodoh, kasar, irasional, kekanak-kanakan, bahkan bejat moral.
Orang-orang Timur dikisahkan sebagai makhluk yang kurang bermutu, mudah ditipu, malas, mencurigakan, gemar berpura-pura, dan licik. Hal ini lantas berbalik seratus delapan puluh derajat apabila dibandingkan dengan pelabelan bangsa Barat. Barat menilai dirinya rasional, berbudi luhur, normal, dan memiliki tingkat intelegensi tinggi. Berikut bukti-bukti yang menguak betapa mengakarnya orientalisme Barat terhadap Timur, khususnya dalam cerpen "Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia".
1. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Sarang Penyakit
“Sepanjang jalan, sais itu hanya bungkam dan menghentakkan tali kekang, sedangkan si kuda yang kurus itu melenggang dengan tenang. Itu lebih baik bagi Lucretia karena ia pun malas berbincang dengan kaum pribumi yang penyakitan. Toh ia tak pernah tahu apakah di setiap ucapan si pribumi itu akan disertai embusan udara yang sarat kuman tuberkulosis.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda sangat menganggap rendah kaum pribumi yang dalam konteks tersebut dipekerjakan sebagai sais atau kusir. Bahkan lebih parahnya lagi, Lucretia tak segan memberikan label ‘penyakitan’ kepada orang tersebut, dan kepada seluruh kaum pribumi pada umumnya, karena pada saat itu Batavia sedang dilanda wabah tuberkulosis yang mematikan. Ia sebagai representasi bangsa Barat telah melakukan penindasan terhadap bangsa Timur. Tidak hanya melalui tindakan, tetapi sejak dalam pikiran ia telah mendiskreditkan para pribumi.
2. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Tertinggal dan Butuh Diselamatkan
“Seharusnya para pribumi itu bersyukur ketika Belanda datang ke bumi mereka dan membawa peradaban modern dan menyelamatkan mereka dari gempuran penyakit mematikan.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda sangat meremehkan kaum pribumi. Ia menganggap kaum pribumi hanyalah kaum terbelakang, tidak berkembang, kolot, kuno, dan perspektif menyudutkan lainnya. Lucretia bermegah diri, ia meyakini bahwa hanya bangsa Eropalah yang memiliki peradaban paling modern, sehingga seluruh negara harus diselamatkan oleh bangsa Eropa terlebih dahulu agar dapat berkembang dan maju, tak terkecuali bangsa Timur. Entah bagaimana sudut pandang Lucretia terhadap bangsa Timur seandainya ia tetap tinggal di Leidseplein, Amsterdam. Namun yang pasti, ketika ia tinggal di Batavia, ia telah terpapar ideologi kolonial Belanda yang merebak di sekitarnya, bahwa Belanda lebih unggul dalam segala aspek kehidupan daripada Nusantara. Inilah yang menyebabkan Belanda percaya diri untuk menduduki Nusantara, sehingga dapat melakukan penjajahan besar-besaran.
3. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Irasional
“Jika tidak, tentu mereka sudah habis dibabat wabah karena hanya mengobati sakitnya dengan dedaunan dan kembang setaman.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda sangat merendahkan kemampuan orang Timur dalam hal mengatasi wabah. Barat menganggap bahwa Timur sangat irasional, sebab hanya mengandalkan tumbuh-tumbuhan dan bukan obat modern untuk penanganan wabah yang serius. Inilah yang menyebabkan Belanda merasa memiliki wewenang untuk mengatur dan menguasi Timur, sebab bekal mereka dirasa cukup efektif untuk menangani wabah tuberkulosis secara cepat dan akurat. Belanda menganggap bahwa Timur tidak bisa mengatur dirinya sendiri, sehingga membutuhkan penopang untuk membebaskannya dari jurang kebodohan. Timur yang irasional membutuhkan Barat yang rasional. Di bawah penguasaan Barat, Timur akan direkonstruksi, disusun, diukir, dan dilahirkan kembali.
4. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Primitif
“Di Batavia, tentu saja tak ada gedung teater seperti Stadsschouwburg.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda sedang membandingkan infrastruktur yang ada di Amsterdam, tempat ia dahulu tinggal, dengan realitas-realitas yang ada di Batavia. Penekanan yang dibuatnya, yaitu ‘tentu saja tidak ada gedung teater’ telah mencederai bangsa Timur. Barat melabeli Timur sebagai bangsa yang primitif karena infrastruktur yang terdapat di Nusantara masih belum selengkap dan secanggih yang terdapat di negara asalnya.
5. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Buruk Rupa
“Lucretia bisa melihat semburat merah di pipi Catia yang cokelat matang dan itu tak membuatnya lebih cantik. Mirip tomat busuk saja.”
“Bagaimana mungkin perempuan sekelas budak hitam legam, bahkan lebih hina dari pribumi, mampu mencuri miliknya.”
Berdasarkan kedua kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan kulit putih mendiskreditkan manusia berkulit gelap. Penyebutan warna secara spesifik, seperti pada frasa ‘cokelat matang’ dan ‘hitam legam’ merujuk pada ras malayan-mongoloid yang memang sama sekali berbeda dengan ras kaukasoid. Ras malayan-mongoloid dikenal dengan warna kulit kekuning-kuningan hingga sawo matang, sedangkan ras kaukasoid dikenal dengan warna kulit putih. Catia sebagai keturunan Bengala digambarkan sangat berbeda dengan Lucretia yang memiliki kulit cerah. Perbedaan warna kulit di antara kedua tokoh tersebut mampu menimbulkan cara pandang tersendiri bagi Barat terhadap Timur. Bagi bangsa Barat, orang Timur yang berkulit gelap dan sering dituduh sebagai primitif itu memiliki kekurangan intelektual, ras rusak, bahkan dijuluki kanibal (Malcolm dalam Synnott, 2003).
6. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Budak dan Kaum Rendahan
“Sebetulnya Lucretia tidak ingin terlalu akrab dengan Catia. Baginya, Catia tetaplah kaum budak dan tak sejajar dengannya.”
“Namun, sebagai penganut kasih Kristus, tentu ia harus berbelas kasih kepada kaum rendahan, dan sudah sepatutnya Catia bersyukur karena Lucretia sudi berbincang dengannya.”
Berdasarkan kedua kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda merasa eksklusif dengan kedudukannya di Batavia sebagai ‘penjajah’. Kehidupannya di tempat tersebut juga tergolong mewah, bahkan tampaknya ia menduduki kasta kelas atas di sana. Ia memiliki seorang bujang, atau yang dalam bahasa masa kini disebut pembantu, pesuruh, atau jongos. Namun, pandangan Lucretia terhadap bujang yang membantunya ini dapat dikatakan sangat buruk. Lucretia memang tidak (atau belum) menyakiti mereka dengan perbuatan-perbuatan anarkis. Namun, sesungguhnya di lubuk hati terdalam Lucretia menyimpan pandangan-pandangan yang sangat merendahkan mereka sebagai manusia. Lucretia menganggap Catia tidak pantas berinteraksi dengannya, hanya karena ia berasal dari bangsa Timur dan berkulit gelap seperti orang-orang Tamil. Seberapa pun Lucretia membutuhkan Catia untuk menyuplai buah dan sayur, tak seharusnya ia terlalu akrab dengan Catia. Hal ini menunjukkan bahwa Barat merasa eksklusif, bahkan terkesan menutup diri untuk bergaul dengan kaum yang tidak sederajat. Mereka tetap selalu ingin eksklusif dan tidak sudi jika diusik oleh para budak maupun kaum rendahan yang status sosialnya tidak sejajar dengannya.
7. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Tidak Dapat Hidup Mandiri dan Selalu Bergantung pada Barat
“Dan Lucretia berpikir, betapa murah hati dirinya. Karena dirinyalah, Catia dan keluarganya bisa makan.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda merasa terlalu bangga atas perbuatannya. Dalam konteks tersebut, dikisahkan bahwa Lucretia memperkerjakan Catia untuk menyuplai kebutuhan buah dan sayur di rumahnya. Sebetulnya, relasi yang tercipta antara Catia dan Lucretia mencerminkan simbiosis mutualisme, karena kedua belah pihak saling diuntungkan. Sebetulnya pula, pikiran Lucretia seperti yang termaktub dalam kutipan di atas juga tidak perlu ada. Namun, karena Barat telanjur memupuk perspektif yang merendahkan Timur, segala hal positif yang berkaitan dengan Timur akan diubah sedemikian rupa agar Barat tetap unggul dan dominan. Lucretia sebagai representasi orang Barat menganggap bahwa bangsa Timur tidak dapat hidup mandiri dan selalu bergantung pada uluran tangan bangsa Barat.
8. Cara Pandang Barat terhadap Timur: Miskin
“Sayang, yang tersedia hanya dokar dengan kuda yang tak terlalu kekar dan tampaknya kurang makan. Sebetulnya, saisnya pun tampak kurang makan seperti pribumi-pribumi lainnya.”
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Lucretia yang merupakan keturunan Belanda memandang rendah kaum pribumi yang tinggal di Batavia. Ia menggeneralisasi bahwa semua pribumi pastilah orang miskin, sebab mereka tak dapat memenuhi kebutuhan primernya secara mandiri. Lucretia sebagai representasi orang Barat tidak ingin memikirkan alasan mengapa kaum pribumi mengalami kekurangan makanan. Kerja paksa terus menerus tanpa upah yang cukup tidak terlintas dalam pikiran mereka sebagai faktor yang bisa menyebabkan pribumi kekurangan makanan. Yang Barat tahu, Timur ialah kumpulan orang-orang miskin dan kekurangan makanan serta membutuhkan bantuan Barat untuk diselamatkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam cerpen "Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia" karya Sasti Gotama terdapat banyak bukti tentang betapa mengakarnya orientalisme Barat terhadap Timur. Dengan terkuaknya bukti-bukti orientalisme tersebut, bangsa Timur diharapkan semakin mampu membuktikan kepada dunia bahwa pelabelan-pelabelan itu hanyalah stereotip masa lampau yang tidak berlaku lagi di masa kini.
Referensi:
Faruk. 2007. Belenggu Pascakolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lestari, Ummu Fatimah Ria. 2019. “Analisis Pascakolonialisme Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer dalam Teori Homi K. Bhabha”. Medan Makna: Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan 14 (2), hlm. 144-153.
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, diterjemahkan oleh Yudi Susanto. Yogyakarta: Jalasutra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H