Di atas adalah kutipan percakapan antara Susila dengan para pemangku hukum. Pada intinya, Susila merasa enggan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya karena ia merasa ia tak melakukan kesalahan.
Namun, hakim, polisi, jaksa, dan para intelijen tidak kehabisan akal. Mereka membujuk Susila terus-menerus agar pedagang itu mau mengikuti alur cerita yang mereka buat demi menguntungkan pihaknya sendiri.
Dalam kekalutan itu, masih ada seorang berbaik hati bernama Petugas 1 yang berniat membebaskan Susila karena pedagang itu pernah berjasa bagi hidupnya. Namun nahas, petugas 1 tersebut ketahuan membantu Susila dan mengkhianati atasannya sehingga ia dibunuh.
Cerita berlanjut. Usut punya usut, ternyata sang intelijen yang kemudian mencintai Susila berbalik arah. Kini ia malah ingin melepaskan Susila dari tekanan para polisi moral yang berniat mengeksekusi Susila keesokan harinya.
“Dia tidak bersalah, konspirasi ini harus diakhiri, sebaiknya Susila dikeluarkan dari penjara.” Ujar sang agen berkode 36 B yang sebelumnya menyamar sebagai penari tayub, dan kemudian memacari Susila.
Sang agen berhasil membebaskan Susila. Negara pun gempar. Maka dibentuklah GAM (Gerilyawan Anti Maksiat) yang ditugaskan mencari Susila.
Pencarian tak berhasil. Negara kemudian dinyatakan dalam keadaan darurat moral. Namun, pengadilan tetap dilanjutkan dengan terdakwa in absentia.
Karena Susila tak bisa dihadirkan, maka hakim memutuskan pengganti, yaitu kloset yang ada di ruang tahanan Susila sebagai terdakwa. Dan kloset pun diputuskan bersalah, karena terbukti di dalamnya terdapat sidik kotoran Susila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H