Mohon tunggu...
Talita Hariyanto
Talita Hariyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Manusia hina sebagai makhluk mulia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Naskah Drama "Dhemit": Kritik Tajam Heru Kesawa Murti terhadap Eksploitasi Alam dan Penyalahgunaan Wewenang

27 Juni 2024   21:19 Diperbarui: 27 Juni 2024   21:21 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teater Syahid (YouTube) https://images.app.goo.gl/ZgoeFp3RUV6NPhqi7

Naskah drama ‘Dhemit’ memiliki kelekatan dengan tradisi Jawa. Bahkan dari judulnya saja, orang dapat menyimpulkan bahwa isi dari drama ini pasti berkaitan dengan kultur Jawa, karena ‘dhemit’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti 'setan' atau 'hantu'. Selaras dengan judulnya, para tokoh dalam naskah ini juga tentu tak lepas dari nama-nama setan yang terkenal di Jawa, contohnya Gendruwo dan Kuntilanak.

Meski mengangkat judul dan nama-nama yang tak lazim, naskah drama ini tidak hanya menampilkan sisi menyeramkan saja. Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari naskah setebal 27 halaman ini. Naskah drama ‘Dhemit’ merupakan kritik atas eksploitasi alam. Di bagian I, kita langsung disuguhkan dengan penggambaran latar tempat hutan dengan peristiwa penggundulan pohon karena di lahan tersebut akan dibangun kompleks perumahan.

Para dhemit, yang merupakan penghuni pohon-pohon itu kemudian tercerai-berai karena tempat tinggal mereka telah digusur. Dan seperti tabiat manusia pada umumnya, mereka segera melapor kepada yang dituakan, dalam konteks ini yaitu Jin Pohon Preh. Jin Pohon Preh yang merupakan ‘lurah’ dalam bangsa lelembut tidak langsung mengambil tindakan. Ia malah berucap, “Digusur? Digusur? Lha ya pindah ta? Bukankah jagat kita ini luasnya bukan kepalang? Apalagi kalian ini cuma dhemit. Tugas kalian memang harus senantiasa menyediakan diri untuk digusur-gusur melulu. Lha wong manusia saja bisa dengan gampang dibegitukan kok. Sudahlah, terimalah kodrat itu dengan tulus ikhlas, sehingga kelak kalian bisa dikatakan ‘dhemit yang berbudi luhur.’”

Ketika membaca bagian tersebut, saya mengangguk-angguk tanda setuju dengan yang diucapkan Jin Pohon Preh. Manusia yang berasal dari bangsa yang sama dengan sang penggusur saja tidak diperhatikan perasaannya, apalagi hanya sekadar sosok yang tak kelihatan rupanya seperti dhemit. Dalam dialog selanjutnya, saya lalu merasa geli membayangkan setan saling melemparkan percakapan memakai bahasa manusia, apalagi mereka menggunakan bahasa yang terkesan tinggi dan baku seperti yang terdapat pada halaman 8, ‘Saya mencoba mempertajam benang merah saudara Wilwo ini bahwasanya status quo tatanan para dhemit punya aspek kultural historis, secara eksplisit, persuasif, dan koheren.’ 

Selain mengenai kritik atas eksploitasi alam, naskah drama ‘Dhemit’ ternyata juga berisi kritik atas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum pejabat. Hal ini digambarkan dalam percakapan antara Rajeg Wesi dan Suli pada bagian I. Rajeg Wesi merupakan insinyur yang dipercaya untuk mengatasi proyek pembangunan kompleks tersebut, sedangkan Suli merupakan konsultan Rajeg Wesi.

Usut punya usut, Rajeg Wesi ternyata merupakan orang yang tidak amanah, ia berlaku curang terhadap proyek yang sedang dikerjakannya. Seperti yang terdapat dalam tubuh teks, ia berniat nguntet anggaran belanja yang sudah ditetapkan hanya demi kepentingan pribadinya. Bahkan, Rajeg Wesi tidak lagi memperhatikan keselamatan para pekerjanya.

Pada halaman 5, ia berseloroh, “… Aku punya usul, bagaimana kalau para pekerja yang sakit mendadak itu, kita make up wajahnya. Biar kelihatan wajahnya. Biar kelihatan waras. Lantas mereka kita suruh kerja keras saat kunjungan itu berlangsung. Sesudah itu mati ndak apa-apa.” Dan tanpa ia sadari, yang membuat pekerjanya jatuh sakit ialah para lelembut yang ingin memberikan pertanda pada manusia tamak.

Jika kita telaah lebih lanjut, orang-orang di sekitar kita yang memiliki kuasa seperti Rajeg Wesi kerap kali melakukan hal yang serupa. Mereka meniadakan yang seharusnya ada dalam kesepakatan, demi mengambil untung sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan apapun lagi selain profit. Heru, melalui karyanya ini, mengkritik mereka yang egosentris.

Sayangnya, di sini peran Suli tidak begitu dominan. Ia sedikit banyak menasihati Rajeg Wesi, sesuai dengan tugasnya sebagai konsultan, tapi ia selalu mengalah hingga akhirnya diculik oleh lelembut. Melalui kisah ini, kita tahu bahwa orang baik senantiasa ada di dunia ini, tapi kebaikan dan ketulusan orang-orang tersebut cenderung tertutup oleh kejahatan oknum-oknum tertentu.

Selain itu, saya juga menyoroti hal yang tak kalah penting bagi masyarakat Jawa, yang selalu ditonjolkan, yang selalu dielu-elukan, yaitu tata krama. Dikisahkan dalam naskah drama ini, Jin Pohon Preh sempat merasa kesal dan marah kepada Gendruwo karena ia memiliki gagasan yang tidak masuk akal.

Gendruwo dikisahkan masih seperti remaja, ia memiliki idealisme yang menggebu-gebu. Singkatnya ia berorasi kepada para dhemit dan mengutarakan keinginannya agar kedudukan Jin Pohon Preh digantikannya. Namun ternyata sang Jin Pohon Preh menyimak segala tuturannya, dan ketika dipergoki, nyali Genderuwo menciut. Hal ini terdapat dalam halaman 19, “Lho, sekarang kok cuma klecam-klecem, padahal tadi serem. Jangan seperti banci, Gendruwo. Kamu ini panglima dhemit, bukan begitu para dhemit?” Oleh karena itu, sebagai orang yang berusia lebih muda, sudah selayaknya kita menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Jika memang diperlukan regenerasi kepemimpinan, haruslah dibicarakan dengan cara yang lebih elegan dan sopan.

Bergerak ke pembahasan selanjutnya, naskah drama ‘Dhemit’ sedikit banyak menyinggung tentang mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa, mulai dari adanya ‘penghuni daerah’, benda-benda mati yang dikeramatkan, pemberian sesajen, dan lain sebagainya. Hal ini pun tak luput dari perhatian sang penulis naskah. Ia turut memasukkan unsur-unsur tersebut untuk melengkapi cerita.

Si Rajeg Wesi, yang pada mulanya tidak menghiraukan peringatan warga setempat mengenai kekeramatan Pohon Preh, akhirnya mengalah juga. Dalam upaya mengembalikan Suli ke dunia kasar, Si Rajeg Wesi rela menemui sesepuh desa untuk meminta pertolongan, meski pada awal kedatangannya ia malah menuduh sesepuh desa yang menculik Suli.

Memang benar adanya, seharusnya sejak semula Si Rajeg Wesi tidak bertindak semena-mena di daerah tersebut, karena peribahasa pun mengatakan "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", yang berarti seseorang wajib mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di daerah tempat tinggalnya kini.

Diceritakan bahwa Si Rajeg Wesi pun turut mengikuti sesepuh desa menaruh sesaji di bawah pohon preh. Namun, ternyata hal ini tak membuat keadaan menjadi lebih baik. Rajeg Wesi mengingkari janjinya terhadap sesepuh desa dan lelembut.

Hal yang menarik perhatian saya selanjutnya adalah gaya penceritaan Heru Kesawa Murti (Gandrik) di dalam naskah drama ini. Ia amat serius dalam mereduplikasi kehidupan masyarakat Jawa. Dalam beberapa dialog, kita dapat mengerti bahwa kehidupan masyarakat Jawa dipenuhi dengan dialek-dialek yang khas, misalnya seperti yang terdapat pada halaman 22, ‘Ya, ndak ta. Mereka itu kan sering baca koran mingguan yang isinya dhemit thok”. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun