Gendruwo dikisahkan masih seperti remaja, ia memiliki idealisme yang menggebu-gebu. Singkatnya ia berorasi kepada para dhemit dan mengutarakan keinginannya agar kedudukan Jin Pohon Preh digantikannya. Namun ternyata sang Jin Pohon Preh menyimak segala tuturannya, dan ketika dipergoki, nyali Genderuwo menciut. Hal ini terdapat dalam halaman 19, “Lho, sekarang kok cuma klecam-klecem, padahal tadi serem. Jangan seperti banci, Gendruwo. Kamu ini panglima dhemit, bukan begitu para dhemit?” Oleh karena itu, sebagai orang yang berusia lebih muda, sudah selayaknya kita menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Jika memang diperlukan regenerasi kepemimpinan, haruslah dibicarakan dengan cara yang lebih elegan dan sopan.
Bergerak ke pembahasan selanjutnya, naskah drama ‘Dhemit’ sedikit banyak menyinggung tentang mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa, mulai dari adanya ‘penghuni daerah’, benda-benda mati yang dikeramatkan, pemberian sesajen, dan lain sebagainya. Hal ini pun tak luput dari perhatian sang penulis naskah. Ia turut memasukkan unsur-unsur tersebut untuk melengkapi cerita.
Si Rajeg Wesi, yang pada mulanya tidak menghiraukan peringatan warga setempat mengenai kekeramatan Pohon Preh, akhirnya mengalah juga. Dalam upaya mengembalikan Suli ke dunia kasar, Si Rajeg Wesi rela menemui sesepuh desa untuk meminta pertolongan, meski pada awal kedatangannya ia malah menuduh sesepuh desa yang menculik Suli.
Memang benar adanya, seharusnya sejak semula Si Rajeg Wesi tidak bertindak semena-mena di daerah tersebut, karena peribahasa pun mengatakan "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", yang berarti seseorang wajib mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di daerah tempat tinggalnya kini.
Diceritakan bahwa Si Rajeg Wesi pun turut mengikuti sesepuh desa menaruh sesaji di bawah pohon preh. Namun, ternyata hal ini tak membuat keadaan menjadi lebih baik. Rajeg Wesi mengingkari janjinya terhadap sesepuh desa dan lelembut.
Hal yang menarik perhatian saya selanjutnya adalah gaya penceritaan Heru Kesawa Murti (Gandrik) di dalam naskah drama ini. Ia amat serius dalam mereduplikasi kehidupan masyarakat Jawa. Dalam beberapa dialog, kita dapat mengerti bahwa kehidupan masyarakat Jawa dipenuhi dengan dialek-dialek yang khas, misalnya seperti yang terdapat pada halaman 22, ‘Ya, ndak ta. Mereka itu kan sering baca koran mingguan yang isinya dhemit thok”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H