Sosial media menjadi media paling ampuh saat ini dalam penyebaran berita. Konten info, gambar dari berbagai macam peristiwa bertebaran dari segala penjuru dunia. Hingga tak terelakkan dan juga tanpa kita sadari akhirnya kita pun terpapar berbagai macam gambar berupa foto dan video yang menampilkan korban dari kejahatan yang sadis. Terakhir yang membuat bulu kuduk kita berdiri adalah paparan ribuan jiwa yang terbunuh dan terusir dari tanah Rohingya, Myanmar.
Adalah mengerikan jika seorang remaja yang secara kejiwaan belum stabil terpapar setiap hari dengan gambar sadis, berupa potongan-potongan kecil korban kejahatan tersebut. Entah darimana bisa didapat, ada seorang lelaki disalib dengan wajah dan badan membelakangi kamera dan benar-benar telanjang dan tanpa sensor pula, ada bagian vital dari tubuh korban yang terlihat dalam foto dilihat ribuan mata seluruh dunia. Apakah tak ada yang merasa ini sebuah kesalahan etika bersosial media?
Pernah mendengar istilah vicarious?Â
Secara kalimat ajektiv, artinya "seolah diri ini seperti mengalaminya langsung". Dengan melihat setiap waktu gambar berupa foto dan video yang memenuhi linimasa kita, mata ini seperti terpapar kejadian yang sepertinya terjadi secara langsung di depan mata kita. Seperti menghadirkan dan menyaksikan bagaimana warga Rohingya disiksa dan dibunuh secara kejam.Â
Manusia pada umumnya memiliki kemampuan belajar yang disebut 'vicarious learning' - yaitu kemampuan untuk memproses gambar dan cerita (dalam buku, foto atau video) seolah-olah sangat nyata kita dialami.
Kemampuan ini yang membuat kita bisa merasa takut ketika melihat foto-foto sadis, misalnya ketika foto pembantaian atau perkosaan yang secara tak terduga (dan tak bisa terkontrol) muncul di linimasa kita.
Dampak negatif (melihat foto kekerasan) bisa hampir sama dengan dampak kita melihat langsung kejadian itu di depan mata kita.
Kita seakan-seakan bisa membayangkan adegan yang terjadi.
Bisa merasa ketakutan, bermimpi buruk, dan lainnya. Untuk lebih mudah mencerna nya adalah ketika seorang anak kecil yang seharian bermain kelelahan dan mungkin karena lelah fisiknya bermimpi buruk. Dan yang terjadi pada vicarious learning adalah kelelahan mental tanpa disengaja. Dengan catatan efeknya bisa sangat beragam tergantung masing-masing individu.
Itulah keadaan yang akan terjadi pada seorang netizen karena paparan kejahatan menjadi nyata dalam kehidupan ini.
Sepertinya efek domino mata kita yang terpapar setiap hari menyaksikan gambar korban sadis ini belum berhenti.
Efek lainnya yang mengerikan adalah "hilangnya empati kita pada korban kemanusiaan tersebut".
Bagaimana bisa?
Karena sudah merasa itu seperti hal yang sudah biasa. Anda akan menjadi biasa saja. Tak akan ada rasa marah, ataupun keluar kutukan kepada pelaku kejahatan tersebut.
Bayangkan saja jika seorang satpam suatu saat menerima ancaman bom, misalnya. Reaksi pertama yang sering terjadi adalah satpam tersebut akan lapor pada kepolisian, mencari tahu bagaimana bisa menyelamatkan lingkungan yang dijaganya. Namun bagaimana jika ancaman bom setiap hari ia terima dan ia dengar?Â
Ia akan terbiasa. Ia menjadi tidak gugup ataupun panik. Semuanya menjadi biasa saja. Ketika kita terbiasa melihat itu, terbiasa dengan kekerasan, rasa empati dan kepekaan terhadap korban menjadi terkikis. Ini yang menurut saya lebih mengkhawatirkan, karena ketika kita merasa terbiasa, itu memperbesar kemungkinan kita untuk melakukan hal (kekerasan) yang sama.
Ini sama halnya dengan kasus bullying antara remaja, misalnya. Ketika video atau foto-foto bullying menjadi viral, dan orang-orang terus menerus terpapar tentang itu di linimasa mereka, bullying akan dianggap sebagai hal biasa. Ketika seseorang sudah mati rasa terhadap gambaran-gambaran kekerasan, itu menurut saya berbahaya, karena respons emosinya sudah tidak tepat lagi.
Dalam bayangan kita, apakah tidak ada anak SD, SMP, SMA di dalam sosial media? Sepertinya ini retorika yang tidak perlu jawaban lagi. Mereka ada di dalam sosial media. Dan bagaimana jika ada anak kita sendiri bermain sosial media dan tiba-tiba mengeluh kepada kita sebagai orang tuanya.Â
"Ayah, Ibu, kepala adik pusing. di Facebook lihat orang disiksa, dibunuh...kejam...pusing kepala adik".... itu anak kecil , dan tak menutup kemungkinan juga dengan orang dewasa. Khususnya wanita. Kepekaan mereka sangat tinggi. Resiko kejiwaan yang terjadi dengan paparan gambar sadis membuat mereka bisa menjadi depresi, stress dan pilu berkepanjangan. Runyam kita dibuatnya.
Harus ada orang dekat yang bisa diajak berbicara dan diskusi membahas kejahatan tersebut, minimal agar rasa ngilu dalam hati bisa hilang.
Pada akhirnya, ketika Anda melihat foto atau tayangan kekerasan, para pakar menyarankan untuk segera menghapus dan tidak menyebarkannya.
Membagikan foto-foto sadis bukanlah jalan untuk menghilangkan ketakutan Anda atau cara untuk mengajak orang meningkatkan kewaspadaan. Justru kita malah bukan saja membuat masalah baru bagi kejiwaan kita sendiri, namun juga orang lain yang membaca dan melihat postingan kita.
Ingat sajalah hukum alam bekerja. Bagaimana mekanisme "collapsing wave function into reality", yaitu bagaimana bahan dasar semesta, yang tadinya berupa gelombang, lalu mewujud dalam bentuk padat (material) alias jadi realita.
Ketika anda menulis status di Facebook ini ... "Hidupku penuh penderitaan" ... Lalu ratusan, atau mungkin, ribuan teman anda memberikan like, atau berkomentar, atau melihatnya. Itu adalah bentuk attention, pengamatan, alias mengamini.
Terjadilah collapse wave function itu ... Kalau gak paham apa itu collapse wave function, silahkan pelajari penelitian yang dilakukan oleh Thomas Young, yaitu "double slit experiment", yang meneliti tentang bagaimana perilaku "particle wave dualism" pada cahaya .
Apa yang anda tanam, itulah yang dituai. Apa yang dilempar, akan kembali juga pada diri kita. Baik positif maupun negatif.
Jadi sebelum Anda memencet tombol 'bagikan' di ponsel, ingatlah bahwa itu berarti Anda juga hendak menyebar ketakutan dan juga secara tak langsung menyebar kejahatan.
Maka berhati-hatilah saat berbagi foto dan video korban sadis kejahatan. Anda ikut andil di dalamnya, sebagai peyebar kebaikan atau kejahatan.
Saran saya, jika hendak mengabarkan seperti ini, maka ambil dari lini masa hosting yang bisa dipercaya kredibilitasnya. Dan pers biasanya terikat dengan kode etik pers. Tak ada gambar mengerikan.
Menjadi netizen sehat adalah pilhan. Termasuk pemilihan gambar dan latar belakang.Â
---
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H