Di saat jelang Lebaran, banyak karyawan/pekerja mudik berbondong-bondong menuju kampung halaman. Mereka pasti bersuka cita pulang dengan membawa oleh-oleh dan rezeki dari hasil keringat yang didapat selama bekerja di kota besar.
Namun ini tak berlaku buat Jamal (56). Di usianya yang menjelang sepuh, ia harus mengalami pahitnya empedu sebagai pencari kerja yang tertipu.
Pak Jamal, biasa saya menyebut beliau, adalah ayah dari 3 putra-putrinya yang beranjak dewasa dan pastinya sedang membutuhkan banyak biaya untuk sekolah.
Profesinya sebagai buruh tani di Praya, Lombok hanya cukup untuk makan dan hidup sederhana di desa. Pak Jamal berpikir keras agar anak sulungnya yang akan lulus SMA bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Terdesak kebutuhan ini, Pak Jamal akhirnya tertarik tawaran dari seorang perekrut kerja sebuah perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Pekerjaannya disebutkan sangat mudah dan dijanjikan mendapat gaji perbulannya sekitar 2 juta rupiah. Terlebih ada fasilitas mess dan antar jemput.pekerja dari asrama dan ke lokasi perkebunan sawit. Tentu saja, ini menggembirakan buat Pak Jamal. Plus daftar kerja yang gratis dan transportasi kapal untuk berangkat dari Lombok ke Pontianak semua ditanggung perusahaan tersebut.Â
"Bonafid nih perusahaan," pikir Pak Jamal senang.
Namun kenyataan berbicara lain.
Sesampainya di Pontianak, Pak Jamal harus menghadapi situasi sulit yang belum pernah terbayang dalam benaknya selama ini. Bermimpi pun juga tidak.
Dalam kamar asrama berukuran 3×4 meter, Pak Jamal harus tidur bersama 10 orang pekerja yang tidak ia kenal sebelumnya. Beralas tikar, pengap karena tak ada jendela dan ditemani nyamuk yang galak. Itu masih ditambah bau badan nan tak sedap dari tiap pekerja. "Saya susah istirahat. Tapi kalau badan lelah, ya mau bagaimana lagi,"ujar Pak Jamal pada saya.
Setiap hari Jamal bersama kawan-kawannya harus berjalan kaki menuju lokasi kebun sawit sejauh 7 Kilometer. Tak ada mobil atau bus antar jemput seperti yang sudah dijanjikan di Lombok.
Pulang dari kebun, Jamal pun sampai kadang pukul 9 malam bahkan pernah pukul 1 pagi. Diperparah tak adanya fasiltas MCK (Mandi Cuci Kakus). Kalau ingin mandi dan buang hajat di sungai yang berjarak 500 meter dari mess.
Pekerjaannya ternyata sangat menguras energi. Ia harus bisa menjangkau pohon sawit yang sangat tinggi. Terserah apa saja dibolehkan. Mau naik pohon langsung, mau pakai alat atau apa saja yang penting bisa mengambil kelapa sawitnya.
Pernah beberapa kali, karena lelah, Pak Jamal terjatuh dati atas pohon. Tulang belakangnya sempat patah. Dan jangan berharap, perusahaan sawit akan mengobati atau memberi jaminan pengobatan. Semua sakit, terpaksa ia telan sendiri.
Berbicara gaji, ini juga menyesakkan hati Pak Jamal. Setiap bulan ia hanya menerima 500 ribu sampai 750 ribu. Jika ditanyakan, mengapa tidak sesuai dengan janji saat direkrut, sang mandor hanya tertawa dan kadang membentak semuanya dengan galak. Potongan gaji sangat besar. Seolah-olah Pak Jamal memilili hutang.
Pak Jamal akhirnya menyerah. Hanya 3 bulan, Pak Jamal meminta pulang pada perusahaan. Tapi, apa daya. Jawaban singkat yang ia dapat, "kalau mau pulang, biaya sendiri. Tak ada pesangon atau apapun uang untuk kamu !".
Selama 3 bulan, Pak Jamal menabung. Terkumpul 1 Juta rupiah. Dengan tekad bulat, hanya uang 1 juta dan baju di badan, Jamal keluar.melarikan diri dari mess.
Pak Jamal berjalan kaki menembus pekatnya hutan kalimantan hampir 100 kilometer menuju Kota Pontianak. Dua hari, dua malam ia terus berjalan. Tak pernah terpikir bahaya mengancam. Menembus hutan dan sungai besar di Kalimantan bukanlah hal yang ringan. Tapi inilah satu-satunya jalan keluar dari semua kesulitan.
Sesampainya di Kota Pontianak, ia menumpang pada sebuah truk muatan kayu. Menyeberangi laut Jawa, menuju Semarang. Pak Jamal selamat. Tapi ia menangis di atas kapal bila malam tiba. Perutnya merintih, tak ada panganan ataupun setitik air. Ia syukuri bila harus berpuasa selama berlayar.
Dari Semarang, ia ikut truk menuju Bali. Dan akhirnya ia dipertemukan oleh saudaranya kepada saya.Tentu saja, Pak Jamal saya terima dengan baik. Kini ia bekerja di perusahaan saya sebagai karyawan Car Wash yang saya kelola.
Getir sekali empedu yang dirasa Pak.Jamal.Dan ini bukan saja kegetiran ia sendiri, namun ternyata dari banyak kawannya di hutan, hampir semua pekerja perkebunan sawit yang bersama Pak Jamal menderita. Persis seperti yang Pak Jamal rasakan. Hanya mereka memilih bertahan dan hidup di tengah hutan dalam derita dan kesunyian, sedangkan Pak Jamal memilih untuk lari dan tinggal bersama kami.
Pak Jamal merasakan senang bisa bekerja di Denpasar bersama saya.Â
Kini ia bisa tenang. Merenda masa depan tanpa harus ketakutan.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H