Pekerjaannya ternyata sangat menguras energi. Ia harus bisa menjangkau pohon sawit yang sangat tinggi. Terserah apa saja dibolehkan. Mau naik pohon langsung, mau pakai alat atau apa saja yang penting bisa mengambil kelapa sawitnya.
Pernah beberapa kali, karena lelah, Pak Jamal terjatuh dati atas pohon. Tulang belakangnya sempat patah. Dan jangan berharap, perusahaan sawit akan mengobati atau memberi jaminan pengobatan. Semua sakit, terpaksa ia telan sendiri.
Berbicara gaji, ini juga menyesakkan hati Pak Jamal. Setiap bulan ia hanya menerima 500 ribu sampai 750 ribu. Jika ditanyakan, mengapa tidak sesuai dengan janji saat direkrut, sang mandor hanya tertawa dan kadang membentak semuanya dengan galak. Potongan gaji sangat besar. Seolah-olah Pak Jamal memilili hutang.
Pak Jamal akhirnya menyerah. Hanya 3 bulan, Pak Jamal meminta pulang pada perusahaan. Tapi, apa daya. Jawaban singkat yang ia dapat, "kalau mau pulang, biaya sendiri. Tak ada pesangon atau apapun uang untuk kamu !".
Selama 3 bulan, Pak Jamal menabung. Terkumpul 1 Juta rupiah. Dengan tekad bulat, hanya uang 1 juta dan baju di badan, Jamal keluar.melarikan diri dari mess.
Pak Jamal berjalan kaki menembus pekatnya hutan kalimantan hampir 100 kilometer menuju Kota Pontianak. Dua hari, dua malam ia terus berjalan. Tak pernah terpikir bahaya mengancam. Menembus hutan dan sungai besar di Kalimantan bukanlah hal yang ringan. Tapi inilah satu-satunya jalan keluar dari semua kesulitan.
Sesampainya di Kota Pontianak, ia menumpang pada sebuah truk muatan kayu. Menyeberangi laut Jawa, menuju Semarang. Pak Jamal selamat. Tapi ia menangis di atas kapal bila malam tiba. Perutnya merintih, tak ada panganan ataupun setitik air. Ia syukuri bila harus berpuasa selama berlayar.
Dari Semarang, ia ikut truk menuju Bali. Dan akhirnya ia dipertemukan oleh saudaranya kepada saya.Tentu saja, Pak Jamal saya terima dengan baik. Kini ia bekerja di perusahaan saya sebagai karyawan Car Wash yang saya kelola.
Getir sekali empedu yang dirasa Pak.Jamal.Dan ini bukan saja kegetiran ia sendiri, namun ternyata dari banyak kawannya di hutan, hampir semua pekerja perkebunan sawit yang bersama Pak Jamal menderita. Persis seperti yang Pak Jamal rasakan. Hanya mereka memilih bertahan dan hidup di tengah hutan dalam derita dan kesunyian, sedangkan Pak Jamal memilih untuk lari dan tinggal bersama kami.
Pak Jamal merasakan senang bisa bekerja di Denpasar bersama saya.Â
Kini ia bisa tenang. Merenda masa depan tanpa harus ketakutan.