Penulis pernah bekerja di sebuah bank swasta nasional selama beberapa tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk hidup mandiri di atas kaki sendiri. Mulai diterima sebagai Front Office sampai berputar menjadi "back office" hingga didapuk untuk jadi marketing.
Saat di front office, jarang terjadi kalau saya dimarahi oleh nasabah. Umumnya malah mereka "super baik". Terlihat "muka manis" mereka kalau minta tolong dilayani spesial transaksi perbankannya. Â Tidak jarang , malah ada nasabah yang suka memberi makanan gratis. halah... he he he..
Pas dirolling bekerja di back office, bagian yang saya pegang awalnya adalah kliring. Jadilah saya petugas kliring bank. Tugas utama ikut "pesta kliring" di Bank Indonesia. Saya lebih senang menyebutnya "pesta' karena hiruk pikuk hampir setiap hari terjadi di antara petugas kliring antar bank peserta kliring.
Jam kliring BI sekitar jam 12 tepat.
Oh ya, kalau ada yang belum paham artinya kliring, monggo disimak, akan saya jelaskan sedikit ya. Misalnya anda dikasih pembayaran dari orang cheq atau Bilyet Giro (BG) Bank X, padahal di Bank X itu, anda tidak punya rekening untuk mencairkan cheq atau BG tersebut. Maka bisa saja kalau anda tetap menyetorkan Chek/BG anda ke bank yang sudah jadi langganan anda. Maka bank langganan anda akan menagih pembayaran ke bank X. Artinya saldo anda nanti akan bertambah setelah bank anda berhasil menagih pada bank X lewat pesta kliring.
Memang di BI, ada tukar menukar uang dalam bentuk cash antar bank? Ya ndak lah, kawan. Di Bank Indonesia, khan ada rekening seluruh bank yang terdaftar. Nah kalau posisinya bank Anda berhasil menagih ke bank X, maka saldo rekening bank anda di BI akan bertambah, sedangkan saldo bank X berkurang. Dan bukan hanya urusan chek dan BG saja yang dilakukan dalam pesta kliring itu, tapi juga ada pengiriman uang antar bank. Maka pengiriman uang juga menambah saldo untuk bank penerima di Bank Indonesia, dan bank pengirim otomatis saldo nya berkurang di Bank Indonesia. Inilah sekilas yang terjadi di Bank Indonesia saat pesta kliring berlangsung.
Di atas sudah saya tuliskan kalau jam pesta kliring itu harus masuk jam 12 di ruangan kliring BI. Kalau terlambat, wah jangan ditanya, kalau yang tidak punya mental sekuat baja, bisa-bisa nangis atau pingsan di BI. Karena yang nunggu itu seluruh peserta kliring yang ada dalam satu kota, maka begitu terlambat, saya akan disorakin, diteriakin atau bahasa sekarang "dibully" dengan keras. Jangan heran kalau bahasa penghuni kebon binatang akan banyak bermunculan. Itu belum lagi ditambah , teguran keras dari Bank Indonesia.
Bisa dipahami demikian tinggi tingkat stress karyawan Bank di era 1990-2000 an. Selain harus bisa memanage waktu untuk tidak terlambat kliring, tugas lain begitu banyak. Pulang dari pesta kliring, saya harus mulai melakukan pendebetan rekening sebagai proses jawaban ada tidaknya uang nasabah kita yang ditarik oleh nasabah bank lain. Nelpon dan sms  juga harus cepat dilakukan untuk bisa mendapatkan konfirmasi "nasabah" kita yang saldonya kurang. Ini juga balik ke BI untuk pesta kliring tahap kedua juga tidak boleh terlambat. Jam 3 sudah harus ada di BI untuk memberi klarifikasi jawaban atas semua tarikan dari bank lain dan kita juga akan menerima jawaban atas tarikan kita kepada bank lain. wuaah, kebayang khan lelah nya jadi pegawai bank?
Jam pembukuan hasil kliring pun juga harus cepat, kalau pulang kantornya ingin cepat. Saya dulu pulang paling cepat sekitar jam 8 malam. Sangat melelahkan. Sampai di rumah, sudah tidak bisa main atau beraktivitas apa-apa lagi, selain makan, shalat dan tidur. Karena besok jam 8 pagi sudah harus masuk kerja lagi... (makanya dari dulu saya malas jawab kalau sering ditanyain masalah jodoh, karena kerja non stop mana sempat nglirik sana, nglirik sini yang ada saya harus kerja keras ..hehehe. )
Di atas semua rutinitas kerja yang gila itu, tidak jarang ada "clash" dikit dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kliring. Ada AO (Account Officer) yang lebih melindungi nasabahnya agar tidak dikasih SP (Surat Peringatan) karena tarikan dari bank lain besar, sedangkan nasabah milik AO ini saldo rekeningnya kurang. Saya pun harus bersabar pada AO yang doyan lindungi nasabahnya. Padahal nasabahnya itu memang jelas-jelas tidak punya uang. Karena faktor kedekatan nasabah dengan AO itulah yang membuat saya "sport jantung".
Bagaimana gak sport jantung, lha wong kita dipaksa melindungi nasabahnya AO, dengan memberi jawaban "OK" pada Bank Indonesia, sedangkan di dalam intern bank kita sendiri, si nasabah "mbalelo" belum setor uang ke rekeningnya yang sudah ditarik kliennya di bank lain. Maka sering timbul yang dinamakan "Over Draft" alias Cerukan. Atau bahasa mudahnya, bank nombokin dulu (nutupin tagihan nasabah) demi kenyamanan nasabah.
Pernah suatu kali, saya dimarahi Kepala Kantor Cabang Bank tempat saya bekerja karen alebih menurut sama AO yang melindungi nasabahnya. Telak, marahnya gak cuma sedikit, tapi selain sampai ke ubun-ubun, peristiwa itu kadang diungkit-ungkit sampai berkepanjangan berhari-hari.
Saya pun menjawab dengan guyonan (biar tidak tegang suasana kantor), "Yo wes sing waras ngalah". Kepala Bank menjawab dengan tidak mau kalah , " Kamu tahu gak Gung, kalau separuh gaji kamu itu memang untuk dimarahi ! " , kata bapak kepala kantor dengan wajah cuek.
Bener-bener Capek , itulah yang saya rasakan saat menjadi pegawai bank. Kelihatannya sih keren pakai dasi dan bangga kalau ditanya , "kerja di mana, mas ?" , saya jawab, "di Bank". Padahal dalamnya , saya harus banyak hidup di bawah tekanan pekerjaan dan pimpinan. Belum lagi gaji yang masih belum layak saya dapatkan saat itu.
Akhirnya dengan pertolongan Allah, saya bisa keluar dari pekerjaan bank itu dan mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak dan manusiawi.
Masih terkesan dalam benak saya hingga saat ini frasa kalimat "Separuh Gaji Kita Sebagai Karyawan Memang Untuk Dimarahi". Ini sangat memacu adrenalin saya untuk bisa lepas dari hidup sebagai karyawan. Memang hidup dari gaji , separuhnya untuk dimarahi  selamanya ? Ya Gak lah... meding kita hidup mandiri saja, berdikari. Gak apa-apa kalau kerja minimal berjualan atau berdagang, daripada harus terbebani dengan frasa mengerikan itu. Yang penting halal.
Inilah kehidupan. Mungkin memang benar, separuh gaji dari karyawan adalah untuk dimarahi. Tetapi bagaimana bila karyawan tersebut orang yang loyalitas, bekerja dengan penuh dedikasi, bersemangat dan penuh kedisplinan ? Malah bukannya membuat ia "down"?
Semoga bisa jadi pembelajaran baik buat saya dan kita.
Salam Kompasiana.
Denpasar, 24 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H