Pernah suatu kali, saya dimarahi Kepala Kantor Cabang Bank tempat saya bekerja karen alebih menurut sama AO yang melindungi nasabahnya. Telak, marahnya gak cuma sedikit, tapi selain sampai ke ubun-ubun, peristiwa itu kadang diungkit-ungkit sampai berkepanjangan berhari-hari.
Saya pun menjawab dengan guyonan (biar tidak tegang suasana kantor), "Yo wes sing waras ngalah". Kepala Bank menjawab dengan tidak mau kalah , " Kamu tahu gak Gung, kalau separuh gaji kamu itu memang untuk dimarahi ! " , kata bapak kepala kantor dengan wajah cuek.
Bener-bener Capek , itulah yang saya rasakan saat menjadi pegawai bank. Kelihatannya sih keren pakai dasi dan bangga kalau ditanya , "kerja di mana, mas ?" , saya jawab, "di Bank". Padahal dalamnya , saya harus banyak hidup di bawah tekanan pekerjaan dan pimpinan. Belum lagi gaji yang masih belum layak saya dapatkan saat itu.
Akhirnya dengan pertolongan Allah, saya bisa keluar dari pekerjaan bank itu dan mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak dan manusiawi.
Masih terkesan dalam benak saya hingga saat ini frasa kalimat "Separuh Gaji Kita Sebagai Karyawan Memang Untuk Dimarahi". Ini sangat memacu adrenalin saya untuk bisa lepas dari hidup sebagai karyawan. Memang hidup dari gaji , separuhnya untuk dimarahi  selamanya ? Ya Gak lah... meding kita hidup mandiri saja, berdikari. Gak apa-apa kalau kerja minimal berjualan atau berdagang, daripada harus terbebani dengan frasa mengerikan itu. Yang penting halal.
Inilah kehidupan. Mungkin memang benar, separuh gaji dari karyawan adalah untuk dimarahi. Tetapi bagaimana bila karyawan tersebut orang yang loyalitas, bekerja dengan penuh dedikasi, bersemangat dan penuh kedisplinan ? Malah bukannya membuat ia "down"?
Semoga bisa jadi pembelajaran baik buat saya dan kita.
Salam Kompasiana.
Denpasar, 24 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H