Pada sebuah session pembicaraan di tahun 2006, saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam sebuah Pelatihan Bisnis diberi kesempatan untuk bisa berbincang santai dengan pemilik toko "Joger" yang terkenal itu. Bapak Joseph Theodorus Wulianadi menceritakan kunci suksesnya berbisnis.
Masalah sejarah beliau hingga jatuh bangun, mungkin tidak perlu saya bahas. Sudah banyak blogger yang menulisnya di media lain.
Hanya ada sebuah kalimat yang membuat saya terkesan sekali dengan ungkapan beliau tentang kesuksesan.
"Saya tidak pernah menganggap orang-orang yang bekerja di Joger sebagai "karyawan atau staff". Saya selalu menganggap mereka sebagai saudara saya sekandung. Anda boleh tanya , mereka memanggil saya itu sehari-hari apa. Saya bukanlah tipe boss besar yang diam duduk manis di kursi besar dan meja raksasa. Mereka sakit dan lelah, maka saya juga harus merasakan. Setiap tahun saya carter pesawat kali untuk berangkatkan mereka ke Jakarta , Bandung, bahkan Singapura untuk berwisata. Mereka harus merasakan enaknya juga jadi boss, bisa jalan-jalan bebas ke luar negeri atau ke kota lain yang menarik. Dan saya akan banyak menarik keuntungan dari jalan-jalan itu. Pikiran mereka jadi segar. Tambah bersemangat. Ide-ide baru mereka mengalir deras untuk perusahaan ini. Saya lagi yang jadi beruntung. Dan keuntungan perusahaan ini saya lempar lagi kepada masyarakat Bali khususnya Kuta di sini sebagai CSR Joger."
Bingo !
Sepakat dengan Mister Joger untuk hal ini.
Bisnis yang terus berkembang sebenarnya merupakan bisnis yang memanusiakan para pekerjanya sebagai manusia yang juga layak untuk diberi kemapanan. Kalau mereka susah atau sakit, setidaknya akan mempengaruhi laba rugi perusahaan itu sendiri. Dan sayangnya ini belum banyak disadari perusahaan yang ada di negeri ini. Masih sedikit yang berpikiran demikian terbuka seperti Mister Joger.
Terkadang konflik yang terjadi antara user perusahaan dengan karyawan menambah terjadinya gap yang besar dan dalam. Membuat kinerja perusahaan yang ada memburuk.
Ini juga menambah pemahaman saya ketika membuka bisnis cuci mobil di akhir Bulan Agustus 2014 yang lalu. Ada beberapa masukan yang saya terima dari kawan-kawan.
[caption id="attachment_361105" align="aligncenter" width="429" caption="Bengkel (dok.pri)"][/caption]
Cuci mobil sebenarnya adalah pekerjaan ringan dan mudah. Tapi sayangnya tidak semua orang bisa melakukannya dengan hati yang ringan. Termasuk karyawan. Berdasarkan referensi dari kawan-kawan, saya mengambil karyawan dari daerah kepulauan Nusa Tenggara seperti Sumba, Flores, Lombok. Ada juga yang dari daerah Lampung. Dominan nya memang dari Nus tenggara.
Teman-teman saya berpesan bahwa yang terpenting dalam bisnis yang metode kerja kasar seperti cuci mobil yakni "tersedianya tenaga kerja yang mau bekerja basah-basahan dan merawat mobil konsumen dengan baik dan benar".
Pernah ada kisah bahwa beberapa bengkel cuci mobil di Denpasar mengalami kebangkrutan karena ditinggal oleh karyawan mekanik nya yang sudah tidak "sudi" lagi bekerja. Konon selain masalah klasik yaitu "Gaji" ditambah "perlakuan" majikan yang tidak memanusiakan manusia para mekaniknya. Jadi merinding juga saya mendengarnya. Maklum , untuk membuka bisnis cuci mobil itu sebuah taruhan besar, mengingat invest peralatan yang cukup besar.
[caption id="attachment_361104" align="aligncenter" width="446" caption="Kesibukan Cuci Mobil di bengkel kami (dok.pri)"]
Karena fakta-fakta inilah yang membuat kami tersadar bila kami memang harus memanusiakan manusia yang bekerja untuk kami. Mereka adalah orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk mengabdi pada sebuah pekerjaan demi banyak alasan kemanusiaan juga. Dan sebagai orang yang mempekerjakan mereka maka kami juga harus bisa menjadi manusia. Karena kelanggengan itulah yang dituju. Alam dan PemilikNya akan mendukung manusia yang memanusiakan manusia lain.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H