Tulisan ini Copas dari http://takula.blogdetik.com
Pertanyaan, yang juga menjadi judul posting ini, sebenarnya sudah lama menyerang alam berfikir saya, pantaskah kita disebut anak? hhmm…tentu ada yang berfikir, maksudnya pertanyaan ini apa. Sama halnya saya pernah melontarkan pertanyaan ini ke saudra, teman, sahabat dan orang-orang yang saya kenal. Ada yang menganggap saya gila, melontarkan pertanyaan tolol dan idiot seperti itu, pertanyaan yang menurut sebagian teman saya adalah referensi dari kejiwaan saya yang mulai terganggu.
Apapun tanggapan mereka saya hanya mampu tersenyum, saya tidak kan membantah apa yang mereka jawab, saya gila, idiot, tolol, bahkan bodoh. Mereka benar pada versi pemikiran mereka, saya juga benar pada versi pemikiran saya, tetapi lebih dari sekedar versi mereka dan versi saya, mereka belum menyadari bahwa pertanyaan itu adalah renungan untuk kita semua.
Pantaskah kita disebut anak? Kalimat ini merupakan renungan untuk kita semua, seberapa besar bakti kita kepada orang tua? Seberapa besar cinta kita kepada orang tua? Dan seberapa besar kemampuan kita menjaga nama baik dan perasaan orang tua. Kadang kita berfikir sempit, kita lahir bukanlah kehendak kita, bukanlah permintaan kita untuk dilahirkan, orang tualah yang menghendaki kita lahir. Mungkin dengan keterbatasan akal saya, saya pun bisa berprinsip saya lahir bukan kehendak saya, apalagi sampai harus meminta dan memaksa orang tua harus melahirkan saya.
Tetapi, bila kita menelaah lebih jauh, mengapa kita lahir meski kita tidak pernah menghadap orang tua memohon untuk dilahirkan, itu semua terjawab dengan satu kata namun bermakna luas, yaitu “cinta”. Ya, cinta. Cinta kedua orang tualah yang menyebabkan kita lahir, cinta orang tua yang mempelihatkan kita dunia ini sebagai anugerah Tuhan.
Dengan dasar cintalah, orang tua kita dilahirkan, sehingga hiduplah kita yang juga siap menurunkan keturunan. Lalu apakah semua hanya berdasar pada cinta semata? Tidak juga, selain cinta ada juga takdir. Takdir juga yang menggiring kita lahir, dan membatasi kehidupan dan kematian kita. Takdir juga yang menghendaki kita untuk hidup dan mati. Lalu, apa motif takdir itu menggiring kita hingga lahir kemuka bumi? jawabannya tetap cinta. Cinta siapa? cinta Allah kepada hambaNya, cinta Allah pada alam semesta, cinta Allah atas apa yang diciptakanNya.
Pantaskah kita disebut anak? Kadang kita kita suka membangkang, menentang, dan zalim kepada orang tua. Padahal mereka melahirkan kita dengan segala cinta. Berapa kali kita menyakiti hati keduanya? Berapa banyak kata-kata bantahan tak sopan kita lontarkan, seberapa tinggi suara kita ketika kita sedang mendongkol kepada mereka, dan berapa kalimat kita yang keluar ketika kita tak senang dimarahi, dicibir, bahkan ditindaki?
Perhatikan disekitar kita, perhatikan ibu yang sedang mengandung usia enam hingga sembilan bulan. Tanyakan pada mereka, apakah mereka tersiksa dengan keadaannya yang berbadan dua? Tanyakan pada mereka apakah mereka tidur dengan baik ketika ibu mengerang kesakitan karena mengandung. Mungkin mereka menjawab dengan benar sesuai apa yang kita tanyakan, tetapi bila ditanya mengapa juga mau hamil dan melahirkan, tentu mereka menjawab, aku mencintai suamiku, suamiku mencintaiku, dan cinta kamilah yang menyebabkan lahirnya calon manusia.
Ibu, dengan cintanya, dia terus berjuang menjaga kehamilannya, terus berjuang menjanga posisi tidurnya bahkan berjalan, bekerja, atau naik kendaraaan pun ibu harus mencari cara nyaman demi menjaga kehamilannya, demi menjaga calon anaknya, bukankah itu cinta?
Ayah, yang dengan susah payah mencari nafkah, bekerja tanpa berfikir lelah, menjaga kondisi fisik dan emosional ibu agar tetap kehamilannya berjalan lancar, rela kesana kemari memenuhi permintaan istri yang sedang mengandung, bahkan lebih dari pada itu, ayah mulai bekerja keras, lebih giat lagi karena mempersiapkan masa depan anak.
Tidak berhenti pada kehamilan saja, ketika melahirkan ibu mengerang kesakitan, kerana sakitnya melahirkan sangat luar biasa, meski saya tak pernah merasakan sakitnya melahirkan, tetapi referensi dari berbagai sumber menyatakan melahirkan adalah sakit yang paling berat dikehidupan dunia sebelum kematian.
Namun, dengan cintanya ibu berjuang, melawan rasa sakit yang entah kapan akan selesai. Beruntunglah bila proses kelahiran lebih cepat, tetapi bagaimana mereka yang menjalani operasi, mungkin tidak merasakan sakit seperti melahirkan normal tetapi resiko kematian lebih besar dari pada sakitnya melahirkan, pada dasarnya sama saja.
Tidak hanya ibu saja yang berjuang, ayah pun demikian berjuang melalui motivasi dan doanya, seakan ayah juga ikut merasakan sakitanya melahirkan. Tetapi karena cinta keduanya pada kita sebagai anak maka Allah pun tetap memberi kemudahan atas kita keluar dari pintu ajal sang ibu. Tidak ada yang berakhir siksanya ketika kita telah lahir, dengan memperdengarkan suara pertama kita pada khalayak, ayah dan ibu pun harus berjuang keras melindungi kita dikala kecil.
Sebuah dosa besar ketika telah menyiksa keduanya yang mencintai kita, menjaga kita sejak masih dalam kandungan.
Ditambah lagi dengan cara kita ketika lahir, buang air diatas paha ibu, menangis tanpa kenal waktu dan ibu pun berusaha mencari jalan keluar dari apa yang kita tangiskan. Mengurangi tidur mereka karena kita, dan menambah kerja mereka karena kita, lalu apakah kita menjadi sombong dihadapan keduanya setelah kita dewasa?
Kata kasar yang sering kita lontarkan, apakah mencerminkan prilaku cinta? Bukankah orang tua selalu mendidik anaknya dengan penuh cinta? Lalu mengapa kita begitu angkuh dihadapan orang tua, sementara kita dulu masih merangkak, masih lemah, semut kecil pun menjadi musuh besar kita, dan merekalah pahlawan kita? Sungguh tidak tahu berterimakasih, bila ada anak yang tega menyakiti hati keduanya.
Sahabat, kembali saya lontarkan pertanyaan diatas, pantaskah kita disebut anak. Bila hati keduanya sakit karena prilaku buruk kita? Apakah kita mau dicap Allah sebagai anak durhaka? Mungkin ada hal-hal yang bertentangan dengan kita dari kebijakan orang tua, kita boleh tidak senang dengan keputusan orang tua mungkin menurut kita tidak sesuai dengan jalan pikiran kita, tetap tidak dibolehkan membantah dengan tidak sopan. Kita bisa membantah dengan orang tua tetapi dengan syarat bantahan itu tidak melahirkan goresan dihati keduanya.
Pantaskah kita disebut anak, jika kita seperti malinkundang, berdiri lebih tinggi dari orang tua kita? Pantaskah kita disebut anak, bila kemurkaan ornag tua juga kemurkaan Allah?
Sahabat, bila masih punya orang tua, segeralah memohon ampun kepada keduanya yang telah kita sakit, segeralah merubah cara bersikap kita pada mereka, yang dulu kasar kini menjadi lebih lebih lembut, kasihanilah keduanya seperti mereka mengasihani kita.
Memang benar, anak yang baik mencerminkan prilaku orang tua yang baik begitu pun sebaliknya. Tetapi kita tidak bisa menjadikan statement ini sebagai dasar lalu kita berbuat sesuka hati. Anak menjadi bodoh dan jahiliah berarti kegagalan orang tua mendidik anak, kalimat itu tidak sepenuhnya menjadi dasar bahwa kita akan berbuat sesuka hati.
Bila orang tua gagal mendidik kita, kitalah yang menciptakan kesuksesan. Bukankah Allah menganugerahi kita akal, digunakan untuk berpikir, membedakan mana yang baik dan mana yang benar? Orang tua tidak mengajarkan bagaimana tatakrama, kita sendiri yang belajar, karena kita juga punya akal. Bila orang tua kita miskin dan hina, maka anaklah yang mampu mengangkatnya. Karena kita tidak pernah menyadari, meski orang tua tidak memberikan wejangan tatakrama, tetapi setidaknya mereka mendoakan kita, berharap agar kita menjadi lebih baik dari mereka.
Sahabat, mungkin bicara soal anak dan orang tua, tidak akan pernah habis. Tetapi, mari kita berpikir sendiri, apakah kita sudah melakukan hal yang terbaik untuk mereka, meski kita kita tidak menerima hal yang baik dari mereka? Sudahkah kita menjadi kebanggan mereka dan mampu mengangkat harga diri mereka? Renungkanlah wahai sahabat, bila kita salah mintalah maaf pada keduanya, bila mereka telah tiada panjatkan doa setiap saat untuk mereka, kerena doa anak kepada mereka secara perlahan akan menghapus sedikit demi sedikit dosa yang pernah kita buat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H