Ibu, dengan cintanya, dia terus berjuang menjaga kehamilannya, terus berjuang menjanga posisi tidurnya bahkan berjalan, bekerja, atau naik kendaraaan pun ibu harus mencari cara nyaman demi menjaga kehamilannya, demi menjaga calon anaknya, bukankah itu cinta?
Ayah, yang dengan susah payah mencari nafkah, bekerja tanpa berfikir lelah, menjaga kondisi fisik dan emosional ibu agar tetap kehamilannya berjalan lancar, rela kesana kemari memenuhi permintaan istri yang sedang mengandung, bahkan lebih dari pada itu, ayah mulai bekerja keras, lebih giat lagi karena mempersiapkan masa depan anak.
Tidak berhenti pada kehamilan saja, ketika melahirkan ibu mengerang kesakitan, kerana sakitnya melahirkan sangat luar biasa, meski saya tak pernah merasakan sakitnya melahirkan, tetapi referensi dari berbagai sumber menyatakan melahirkan adalah sakit yang paling berat dikehidupan dunia sebelum kematian.
Namun, dengan cintanya ibu berjuang, melawan rasa sakit yang entah kapan akan selesai. Beruntunglah bila proses kelahiran lebih cepat, tetapi bagaimana mereka yang menjalani operasi, mungkin tidak merasakan sakit seperti melahirkan normal tetapi resiko kematian lebih besar dari pada sakitnya melahirkan, pada dasarnya sama saja.
Tidak hanya ibu saja yang berjuang, ayah pun demikian berjuang melalui motivasi dan doanya, seakan ayah juga ikut merasakan sakitanya melahirkan. Tetapi karena cinta keduanya pada kita sebagai anak maka Allah pun tetap memberi kemudahan atas kita keluar dari pintu ajal sang ibu. Tidak ada yang berakhir siksanya ketika kita telah lahir, dengan memperdengarkan suara pertama kita pada khalayak, ayah dan ibu pun harus berjuang keras melindungi kita dikala kecil.
Sebuah dosa besar ketika telah menyiksa keduanya yang mencintai kita, menjaga kita sejak masih dalam kandungan.
Ditambah lagi dengan cara kita ketika lahir, buang air diatas paha ibu, menangis tanpa kenal waktu dan ibu pun berusaha mencari jalan keluar dari apa yang kita tangiskan. Mengurangi tidur mereka karena kita, dan menambah kerja mereka karena kita, lalu apakah kita menjadi sombong dihadapan keduanya setelah kita dewasa?
Kata kasar yang sering kita lontarkan, apakah mencerminkan prilaku cinta? Bukankah orang tua selalu mendidik anaknya dengan penuh cinta? Lalu mengapa kita begitu angkuh dihadapan orang tua, sementara kita dulu masih merangkak, masih lemah, semut kecil pun menjadi musuh besar kita, dan merekalah pahlawan kita? Sungguh tidak tahu berterimakasih, bila ada anak yang tega menyakiti hati keduanya.
Sahabat, kembali saya lontarkan pertanyaan diatas, pantaskah kita disebut anak. Bila hati keduanya sakit karena prilaku buruk kita? Apakah kita mau dicap Allah sebagai anak durhaka? Mungkin ada hal-hal yang bertentangan dengan kita dari kebijakan orang tua, kita boleh tidak senang dengan keputusan orang tua mungkin menurut kita tidak sesuai dengan jalan pikiran kita, tetap tidak dibolehkan membantah dengan tidak sopan. Kita bisa membantah dengan orang tua tetapi dengan syarat bantahan itu tidak melahirkan goresan dihati keduanya.