Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara
Oleh: Soekarno
Buat nomor Maulud ini Redaksi “Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada yang dimintanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.
Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masyarakat abad ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang ini.
Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”.
Tetapi masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, – sebab umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!
Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah.
Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak.
Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, – hampir dua pertiga Qur’an – adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.
Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, – ditambah dengan material baru, antaranya kaum Ansar mendinamiskan material itu ke alam perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.
“Pasir dipadang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyongmenjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.