Media massa adalah salah satu pilar demokrasi. Dalam pemerintahan, media massa tidak hanya berperan sebagai sarana informasi dan komunikasi pemerintah kepada masyarakat, namun juga sebagai kontroler bagi pemerintah.
Fungsi media massa sendiri adalah sebagai sarana informasi, edukasi, hiburan, dan  persuasi. Namun dewasa ini dapat kita lihat bahwa hiburan merupakan prioritas utama dalam sebuah media karena mampu mendatangkan banyak keuntungan bagi pemilik media tersebut.
Karena saat ini media massa lebih berorientasi pada nilai komersialnya, banyak pengusaha besar menanamkan modalnya pada media-media massa, dengan harapan modal yang mereka tanamkan dapat menghasilkan keuntungan yang berlimpah. Hal tersebutlah yang akhirnya memunculkan fenomena konglomerasi media.
Fenomena konglomerasi media ini tidak serta merta ada atau merupakan hal baru di negeri kita dewasa ini. Merlyna Lim dalam "Mapping Media Concentration in Indonesia" (2011) telah menyimpulkan bahwa pada tahun 2011, semua saham televisi komersial di Indonesia tengah dikontrol oleh 12 kelompok besar, yaitu Media Citra Nusantara (MNC) Group, Mahaka Media Group, Kompas Gramedia Group, Jawa Pos Group, Media Bali Post Group, Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group, Lippo Group, Bakrie & Brothers (Visi Media Asia), Femina Group, Media Group, Mugi Reka Abadi (MRA) Group, dan Trans Corporate.
Ketika media-media besar dikuasai oleh hanya beberapa kelompok besar, tentu dia akan memunculkan berbagai dampak. Seperti terpicunya persaingan antar media yang pada akhirnya memunculkan komersialisasi media, yang mana seperti telah dijelaskan sebelumnya, media lebih mengutamakan sisi komersial daripada mendidik, menginformasikan, atau melakukan kontrol sosial.Â
Kita contohkan saja media televisi, mereka berupaya menaikkan rating mereka dan merebut pangsa pasar melalui program-program acara yang kurang mendidik; penuh romansa percintaan remaja, vulgar, serta berbau mistik dan reality show yang penuh dengan settingan tanpa memikirkan kualitas dari penanyangan mereka tersebut.
Selain hal di atas, konglomerasi media juga dapat menimbukan ketidak beragamannya sudut pandang konten-konten yang disajikan oleh media-media massa, sehingga berpotensi mendominasi dan mengarahkan opini-opini publik pada satu arah dan bahkan dapat menimbulkan hegemoni terhadap media sehingga dapat membuat lemahnya fungsi kontrol jurnalistik karena terkekangnya kebebasan pers. Dengan kata lain, semakin banyak media yang dipegang oleh konglomerat media, maka semakin lemah pula fungsi kontrol jurnalistik terhadap dirinya dan kelompoknya.Â
Dampak lain dari monopoli media ini yaitu terkait kontrol pemilik media terhadap medianya. Sang pemilik media mempunyai kuasa penuh untuk melarang memproduksi berita yang tidak sesuai dengan keinginannya. Akibatnya, pandangan masyarakat menjadi terbatas. Opini masyarakat terkait isu-isu yang beredarpun akhirnya diarahkan sesuai apa yang dikehendaki oleh konglomerat media.
Menariknya, dewasa ini para pemilik raksasa media mulai berkecimpung dalam dunia politik. Sehingga bukannya tidak mungkin media-media tersebut pun digunakan oleh pemiliknya sebagai senjata untuk m engangkat citra atau menjatuhkan lawan politik. Masihkah kita ingat dengan pilpres tahun 2014 silam? dengan bersenjatakan media, masing-masing pihak berusaha membangun pencitraan lewat media-media yang mereka bawahi.Â
Sederet kasus demi kasus pelanggaran kode etik jurnalis pun bermunculan ke permukaan dan tak bisa terelakkan. Misalnya saja kasus pelanggaran kode etik jurnalis yang menimpa TV One pada 2014 silam terkait segmen talkshow yang mengangkat topik 'Kasus TransJakarta' pada 3 Juni 2014, berita 'Awas Bahaya Komunis' yang disiarkan pada 2 Juli 2014 dan paket berita berjudul "Kaderisasi PDIP" yang disiarkan di hari yang sama dinilai melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan 3 oleh dewan pers karena tidak berimbang dan memuat opini yang menghakimi.Â
Pada akhirnya kasus ini tidak diselesaikan melalui proses hukum dan hanya diselesaikan oleh dewan pers dengan penjatuhan sanksi berupa pemuatan hak jawab pengadu, disertai permintaan maaf kepada pengadu dan pemirsa lewat siaran televisi.
Bahkan ditengah memanasnya persaingan pada pilpres 2014 saat itu, muncul penjulukan masyarakat terhadap dua stasiun televisi, yaitu "TV Prabowo" dan "TV Jokowi." Pemberian label ini diberikan kepada TVOne dan Metro TV. Hal ini dikarenakan kedua Stasiun televisi tersebut kemudian mengarah kepada "ketidak independenan" dan terkesan membela atau berusaha memojokkan salah satu pihak.
Sekarang kita berada di tahun 2019, di mana di tengah situasi mulai memanasnya persaingan kedua pasangan calon menghadapi Pemilihan Presiden mendatang mungkin saja hal-hal yang seperti tersebut di atas terulang kembali. Jadi sebagai konsumen media, kita harus pintar-pintar dalam menyaring isu-isu dan juga berbagai konten yang disebarkan oleh media. Semua itu bisa saja dengan mudah disisipi misi-misi terselubung oleh para konglomerat media.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI