Tito menggeleng. Tanpa ekspresi panik yang berlebihan. Dan karena dia termasuk teman dekatku dan kulihat dia benar-benar lupa akan tugas itu, maka kutunjukkan jawaban tugas Fisikaku itu untuknya.Â
"Kau, kok, bisa-bisanya lupa, To. Kau tidak takut pada Pak Rudi?"
"Ya, bagaimana lagi? Namanya juga lupa," katanya enteng sekali.
Selang tak berapa lama, Bu Rose, wali kelas kami datang dan memberi tahu bahwa Pak Rudi tidak hadir karena istrinya melahirkan. Dan kami dihimbau agar tetap tenang di kelas sampai jam mata pelajaran berikutnya di mulai. Murid-murid yang sudah datang pagi-pagi buta tak pelak mendengus kesal karena perjuangan mereka berangkat lebih cepat ke sekolah ternyata berujung sia-sia. Sementara Tito di sebelahku makin santai menyalin jawaban Fisikaku sambil terus asyik mengemut permen.Â
"Pak Rudi tidak masuk! Kau masih berani menyontek jawabanku?"
"Kan bukan aku yang minta, kau yang memberinya padaku," Tito nyengir, lalu memberiku beberapa butir permen yang memang enak sekali rasanya, dan sebentar kemudian dari dompetnya dia mengeluarkan sebuah foto dan meletakkannya dengan sembarangan di meja.Â
"Untukmu," katanya, enteng.Â
Kulihat foto itu. Gambar wanita bugil.
Aku terkesiap.Â
**
Naik ke kelas sebelas, aku sekelas lagi dengan Tito tapi tidak sebangku. Dia duduk berada dua meja di depanku. Agak kehilangan juga tidak duduk sebangku dengan orang yang santai seperti dia. Sebulan setelah kenaikan kelas itu sekolahku melakukan pemeriksaan rambut secara tiba-tiba. Guru-guru mendadak datang membawa gunting dan para siswa yang berambut gondrong mati kutu. Satu-persatu mereka dikumpulkan di lapangan dan dicukur hingga botak. Sementara Tito, yang kutahu adalah salah satu golongan dari mereka, selamat. Hari itu dia tidak masuk sekolah entah kenapa. Padahal aku yakin sekali jika anak itu juga kena ciduk dia akan menangis karena rambut gondrong kesayangannya itu dipangkas hingga tumpas. Maka keesokan harinya, Tito datang ke kelas dengan gaya jalannya yang santai sebagaimana biasa, dan berkata kencang.