Orangtuaku selalu berpesan, jika aku berdoa mintalah kepada Tuhan agar aku diberikan kepintaran. Begitu pun mereka yang senantiasa mendoakanku agar aku menjadi anak yang pintar. Seingatku doa itu telah ditanamkan padaku sedari balita sehingga telah berakar di dalam kepalaku. Maka setiap kali berdoa aku tak pernah lupa meminta kepada Tuhan agar aku diberikanNya kepintaran. Dan memang benar, aku menjadi anak yang pintar. Mulai Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas aku selalu mendapat ranking satu. Di berbagai lomba cerdas-cermat pun aku selalu juara. Pialaku di rumah sudah satu lemari banyaknya. Guru-guru memuji aku. Teman-tekan di sekolah ingin dekat-dekat denganku. Dan sudah pasti Ayah dan Ibu bangga padaku. Namun, sejak aku bertemu Tito, kawanku di Sekolah Menengah Atas, aku mengubah doaku itu.
Waktu di kelas sepuluh aku dan Tito teman sebangku. Sebagai orang yang selalu menjadi yang terbaik di sekolah aku terbentuk menjadi orang yang serius menghadapi segala hal. Selalu ingin menjadi yang pertama. Tito sebaliknya. Dia tipe orang yang santai. Tidak pernah terlihat panik dan seolah-olah segala sesuatu akan baik-baik saja baginya. Hidup baginya bukanlah untuk mencapai suatu tujuan tetapi semata perjalanan. Dan dia tampak menikmatinya.Â
Pagi itu sebagian besar murid di kelasku - yang belum mengerjakan tugas Fisika - gaduh. Mereka semua sibuk bekerja sama menyelesaikan tugas Fisika itu secara kolektif, saling memberikan jawaban satu sama lain. Bahkan ada yang terang-terangan menyontek kepada murid yang lebih pintar. Aku tahu akan menjadi salah satu target mereka maka itu aku mengumpat di kantin. Aku hanya memberi contekan kepada teman-teman terdekatku saja.Â
Tidak seperti mereka yang datang ke sekolah pagi-pagi buta agar dapat menyelesaikan tugas Fisika itu, Tito tetap seperti biasa, datang ke sekolah pada detik-detik bel masuk berbunyi. Dia datang ke kelas dengan langkah yang ringan sebagaimana biasanya, menyapa semua teman-temannya dengan gaya yang sok akrab, lalu tak lupa melempar senyum dan lirikan genit untuk Gracia, primadona di sekolah kami, Tito selalu tampak santai sekalipun Gracia bersikap jual mahal. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi tanpa ada sebuah keresahan sebagaimana murid-murid lainnya. Perlu kau tahu, guru Fisika kami, pak Rudi, galaknya bukan main. Jika marah karena muridnya badung atau salah mengerjakan soal di papan tulis dia tak segan-segan main tangan.
"To," sapaku.Â
"Ya."
"Kau sudah mengerjakan tugas Fisika?"
Tito menatapku dengan kening mengerut. "Tugas Fisika?"
"Iya. Yang di buku paket halaman seratus tiga puluh dua."
"Astaga! Aku lupa!" kata Tito menepuk keningnya.
"Jadi kau belum mengerjakannya?"