Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Karena Bagian Tersulit di dalam Hubungan Ini Adalah Meninggalkanmu [Bagian I]

21 Februari 2017   22:08 Diperbarui: 26 Februari 2017   04:00 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Langit redup.Gadis berkerudung itu berjalan di garis rel dengan limbung. Tubuhnya berayun-ayun ke kanan dan ke kiri. Sedang kedua tangan dibentangkannya sebagai penyeimbang. Entah apa yang tengah dipikirkan gadis berkerudung itu hingga ia tak mendengar lengkingan kereta yang hanya berjarak dua kilometer di belakangnya. Ia terus saja berjalan tanpa sedikit pun terlihat cemas. Sedang kereta dengan kecepatan tinggi terus mendekat dan siap menghantamnya tanpa kompromi. Bentang moncong kereta dan gadis berkerudung itu tinggal menyisakan jarak sepuluh meter ketika sebuah tangan yang kukuh dengan sigap menariknya keluar dari garis rel itu. Kereta melintas bagai kilat, dan si gadis berkerudung itu sudah berada dalam sebuah dekapan.

“Kamu gila, ya?! Kamu bisa mati ditabrak kereta tadi!” kata lelaki itu penuh emosi, seraya melepaskan dekapannya dari gadis berkerudung itu dengan kasar.

Keduanya berpandangan dengan jarak yang dekat. Mungkin sejengkal. Amarah lelaki itu tiba-tiba mereda. Otot-otot yang semula tegang di sekitar lehernya mengendur. Si gadis berkerudung menatapnya dengan mata yang basah. Mata yang luka. Mata yang mengundang begitu mudah rasa haru dan iba dengan cara yang tiba-tiba.

“Terimakasih,” kata gadis berkerudung itu dengan suara yang bergetar.

Ia lekas berpaling dan pergi. Kerudungnya tersibak angin dan meninggalkan aroma musim semi di udara. Selangkah pun lelaki itu tak beranjak dari tempatnya. Ia terus memandang punggung si gadis berkerudung yang kian menjauh. Sungguh, ada rasa haru yang memenuhi hatinya pada detik pertama menatap mata itu. Mata yang mengundang nalurinya untuk mencabut – sekiranya ada – pisau yang menancap di dada gadis itu.

**

Hari terus berganti. Menghadirkan peristiwa-peristiwa baru dalam ingatan. Tetapi mereka bilang hidup adalah sebuah pengulangan. Tidak ada yang sesungguh-sungguhnya baru. Hidup hanyalah sebuah perjalanan menemukan dan kehilangan. Bertemu dan berpisah. Datang dan pergi. Begitulah seterusnya. Yang mana pada kedua peristiwa itu, Tuhan seringkali menciptakan keajaiban-keajaiban.

Kereta itu berjalan memelan dan berhenti di stasiun Universitas Indonesia. Seluruh pintu di sebelah kirinya otomatis terbuka. Melalui salah satu pintu tersebut si gadis berkerudung masuk bersama penumpang-penumpang yang lain. Saat itu bukan jam sibuk. Sehingga kondisi di dalam kereta tak terlalu ramai. Setidaknya mereka yang baru masuk dan bergerak cekatan masih bisa mendapatkan tempat duduk.

Gadis berkerudung itu menduduki bangku di dekat pintu yang dilaluinya. Posisinya berada nomor dua paling pinggir dari pintu tersebut. Sementara bangku yang paling pinggir sudah di tempati seorang lelaki yang lebih dulu naik di stasiun sebelumnya. Lelaki itu tengah terkantuk-kantuk lelah, wajahnya tertutupi rambut gondrongnya yang menjuntai berurai, sementara kedua tangannya menyilang mendekap tas model koper di dadanya. Gadis berkerudung itu kemudian membuka buku yang dipangkunya seiring kereta yang kembali melaju. Ia membaca tanpa suara. Hanya bibirnya saja yang merapal. Sementara kantuk si lelaki di sampingnya tampak kian memberat. Kepalanya terhuyung-huyung hingga akhirnya jatuh di pundak gadis berkerudung itu. Keduanya tersentak. Gadis berkerudung itu berhenti membaca dan si lelaki terbangun.

“Maap,” kata lelaki itu spontan.

Mata mereka bersirobok. Keduanya sama-sama terkejut. Gadis berkerudung itu nyaris saja memekik kalau saja ia tak sigap menahan laju suaranya di tenggorokan. Tetapi keterkejutannya itu tetap saja tergambar dari mulutnya yang menganga dan matanya yang membeliak.

“Kamu perempuan yang mau bunuh diri itu, kan?” kata lelaki itu terkaget-kaget.

Semua penumpang yang duduk di seberang mereka spontan mengalihkan perhatian kepada si gadis berkerudung itu. Mata mereka memancarkan berbagai makna keterkejutan. Pipi gadis berkerudung itu memerah dan ia menunduk malu. Suasana berubah menjadi kikuk. Lelaki itu menelan ludah. Dalam hati menyesali sekaligus mengutuki ucapan yang tadi meluncur dari mulutnya tanpa kontrol. Untuk menebus kesalahannya maka buru-buru ia mencari siasat agar suasana bisa kembali normal.

“Aktingmu bagus sekali di film dokumenter itu. Sampai-sampai tugas kelompokmu dapat nilai A. Hebat! Hebat!” katanya kemudian. Lagaknya jadi sok akrab.

Si gadis berkerudung kebingungan. Keningnya mengerut. Dengan kepala yang masih menunduk, ia memicingkan mata ke lelaki itu. Dilihatnya lelaki itu tengah menatapnya sembari membentuk sebuah senyuman yang tampak sekali dibuat-buat. Beruntung ia segera menangkap maksud dari perubahan sikap lelaki itu, dan lantas terkekeh.

“Terimakasih.. tugas kelompokmu juga bagus, kok. Dapat nilai A juga, kan, kalau tidak salah,” balasnya kemudian, dengan lagak yang tak kalah sok akrab dan dengan senyum yang juga tampak sekali dibuat-buat.

Kendati masing-masing menyadari bahwa mereka bukanlah aktor yang piawai dalam hal kepura-puraan, tetapi akting mereka toh cukup berhasil. Karena suasana kemudian kembali normal. Penumpang-penumpang itu kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada kelegaan yang lantas menyemburat di wajah lelaki dan gadis berkerudung itu. Tetapi diam-diam keduanya cukup heran juga kenapa mereka bisa kompak seperti tadi. Seolah mereka memang sepasang sahabat yang bisa membaca pikiran satu sama lain. Hanya saja perasaan itu tak mereka utarakan, hanya mereka simpan dalam ingatan, ingatan yang bisa membuat mereka tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri manakala mengingatnya suatu hari. Sepanjang jalan kemudian mereka hanya diam seperti sebongkah tubuh yang kehilangan kata-kata. Tak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya terjebak dalam keheningan yang janggal. Di luar hujan mulai turun. Percikkan-percikkannya menciptakan setitik demi setitik air di jendela. Terbayang oleh lelaki itu peristiwa pertama kali mereka bertemu, dua hari yang lalu, ia masih ingat pucatnya wajah si gadis berkerudung yang seperti mayat hidup dan sepasang matanya yang kehilangan cahaya. Tapi, di pertemuan kali kedua ini, ia mendapati wajah si gadis berkerudung bersemu warna. Hanya saja, sepasang mata itu masih seperti telaga yang tak pernah kering, sorotnya selalu berkaca-kaca, seperti menyimpan tangis di dalamnya.

Laju kereta memelan begitu memasuki stasiun cikini. Di luar hujan mulai reda. Beberapa penumpang kemudian bersiap-siap turun, termasuk si lelaki dan gadis berkerudung itu. Mereka memilih pintu keluar yang sama dan berdiri bersebelahan.

“Kamu turun di sini juga?” tanya lelaki itu.

Seiring kereta yang berhenti dan pintunya yang terbuka, gadis berkerudung itu mengangguk tanpa menoleh, lalu bersama kerumunan penumpang yang lain ia melangkah keluar. Lelaki itu kemudian.

“Mau minum kopi?” tanya lelaki itu cepat, selagi gadis berkerudung itu masih dekat. Intonasinya lembut dan sopan, sehingga tak terkesan agresif, tak membuat siapa pun yang mendengarnya langsung menutup diri. Dan seakan tahu siapa si pemilik suara dan merasa kepada dirinyalah tanya itu menuju, gadis berkerudung itu berhenti berjalan. Jarak mereka masih cukup dekat. Mungkin sekitar lima meter. “Ada yang bilang, kopi bisa membuat segala sesuatu jadi lebih enteng,” tambah lelaki itu. Gadis berkerudung itu menoleh. Harapan lelaki itu mengembang. “Kalau kamu tidak suka kopi, tempat yang mau saya datangi juga menyediakan jenis minuman yang lain. Teh, juice, atau es krim, misalnya."

Selanjutnya lelaki itu menunggu jawaban dengan hati yang harap-harap cemas, bagai seorang terdakwa yang menunggu putusan hakim.

Sejenak, gadis berkerudung itu menyelidik tatapan lelaki itu. Barang dua sampai tiga detik. Tak ia dapati siasat ataupun tipu muslihat di sana. Setidaknya, dalam waktu yang singkat itu, intuisinya mengatakan si lelaki bukanlah tipe pria yang gemar mengumbar kata-kata manis kepada setiap gadis yang menarik minatnya untuk dijerat. Ditambah lagi jika mengingat kali pertama pertemuannya dengan lelaki itu, harus ia akui, andai saja hari itu, lelaki itu tak datang (sekalipun tak diharapkan) menyelamatkannya, mungkin hari ini ia tak lagi bisa melihat dunia dengan berbagai keajaibannya. Wajah lelaki itu cerah begitu si gadis berkerudung berbalik badan, ke arahnya.

**

Di luar, hujan kembali menderas. Lelaki itu meniup permukaan kopi hitam yang dipesannya sebelum menyeruputnya pelan.

“Jadi kamu mahasiswa sastra UI.”

Gadis berkerudung itu tak langsung menjawab. Ia menjangkau segelas cappucino yang baru diantarkan pelayan dan perlahan menyesapnya. Setelah itu, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tadi.

“Meski saya arsitek. Saya juga menggemari sastra.”

Alis gadis berkerudung itu naik. “Kamu sangsi?” terka lelaki itu. “Kamu pasti tahu Mangunwijaya dan Kurnia Efendi. Mereka itu, kan, arsitek. Tapi penggemar sastra. Saya juga sama seperti mereka. Tapi bedanya mereka menciptakan karya sastra sementara saya tidak.”

Sekilas ada sekelumit senyum yang tersembunyi di pojok bibir gadis berkerudung itu. Tipis dan samar. Tapi cukup membuat lelaki itu senang. Sedikitnya, ia telah membuat gadis berkerudung itu terhibur. “Coba sebutkan novel-novel favoritmu, saya pasti pernah baca salah satunya?”

Mata mereka bertaut. Lantas dengan senang hati gadis berkerudung itu menyebutkan novel favoritnya satu-persatu. Begitu menyebut novel Anna Karenina karya Leo Tolstoy, dengan cepat lelaki itu menyambar.

“Ah, saya pernah baca!” katanya penuh semangat. “Menurut logika saya, keputusan Anna Karenina memilih Vronsky sangatlah bodoh. Tapi kalau menilai pakai hati, keputusannya itu memang sangat mengesankan. Tapi saya tetap tidak setuju dia memilih Vronsky. Menurutmu?”

Berawal dari sanalah obrolan mereka selanjutnya menjadi mengalir. Keduanya asyik membahas cerita dalam novel-novel yang pernah mereka baca. Kadang diselingi perbedaan pendapat, persamaan pandangan, seulas senyum, gelak tawa, dan simpatik. Sedikitnya, lewat obrolan yang ringan itu; yang sama sekali tak berpretensi untuk saling memikat, mereka bisa mengenal karakter satu sama lain. Sampai tak terasa matahari mulai turun ke balik cakrawala ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri pertemuan hari itu. Si lelaki membuka pintu kaca kedai itu dan menahannya untuk tetap terbuka, mempersilahkan gadis berkerudung itu keluar lebih dulu. Kemudian mereka berdiri di depan kedai tersebut sebelum berpencar.

“Kamu tahu, ada hal yang terlewatkan sedari awal kita bertemu.”

“Apa?”

“Kamu tidak menyadarinya juga?”

Gadis itu menggeleng pelan.

“Kita belum saling memperkenalkan nama.”

“Astaga!”

Gadis berkerudung itu pun luput akan hal itu. Tidak sebentar mereka duduk dan berbincang akan tetapi mereka belum tahu nama satu sama lain. Konyol sekali, batinnya. Lelaki itu lantas menyodorkan tangannya, namun tak mendapat sambutan. Tangan gadis berkerudung itu tak bergerak sedikitpun dari posisinya. Tapi ia tetap memperkenalkan diri.

“Islami.”

Lelaki itu tersenyum, dan perlahan menarik tangannya kembali tanpa sedikitpun merasa tersinggung. Ia mengerti sekaligus menghormati prinsip gadis berkerudung itu. Kemudian, giliran ia yang memperkenalkan diri. Lelaki itu menyebutkan namanya.

“Christian.” (*)

 

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun