Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Karena Bagian Tersulit di dalam Hubungan Ini Adalah Meninggalkanmu [Bagian I]

21 Februari 2017   22:08 Diperbarui: 26 Februari 2017   04:00 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu perempuan yang mau bunuh diri itu, kan?” kata lelaki itu terkaget-kaget.

Semua penumpang yang duduk di seberang mereka spontan mengalihkan perhatian kepada si gadis berkerudung itu. Mata mereka memancarkan berbagai makna keterkejutan. Pipi gadis berkerudung itu memerah dan ia menunduk malu. Suasana berubah menjadi kikuk. Lelaki itu menelan ludah. Dalam hati menyesali sekaligus mengutuki ucapan yang tadi meluncur dari mulutnya tanpa kontrol. Untuk menebus kesalahannya maka buru-buru ia mencari siasat agar suasana bisa kembali normal.

“Aktingmu bagus sekali di film dokumenter itu. Sampai-sampai tugas kelompokmu dapat nilai A. Hebat! Hebat!” katanya kemudian. Lagaknya jadi sok akrab.

Si gadis berkerudung kebingungan. Keningnya mengerut. Dengan kepala yang masih menunduk, ia memicingkan mata ke lelaki itu. Dilihatnya lelaki itu tengah menatapnya sembari membentuk sebuah senyuman yang tampak sekali dibuat-buat. Beruntung ia segera menangkap maksud dari perubahan sikap lelaki itu, dan lantas terkekeh.

“Terimakasih.. tugas kelompokmu juga bagus, kok. Dapat nilai A juga, kan, kalau tidak salah,” balasnya kemudian, dengan lagak yang tak kalah sok akrab dan dengan senyum yang juga tampak sekali dibuat-buat.

Kendati masing-masing menyadari bahwa mereka bukanlah aktor yang piawai dalam hal kepura-puraan, tetapi akting mereka toh cukup berhasil. Karena suasana kemudian kembali normal. Penumpang-penumpang itu kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada kelegaan yang lantas menyemburat di wajah lelaki dan gadis berkerudung itu. Tetapi diam-diam keduanya cukup heran juga kenapa mereka bisa kompak seperti tadi. Seolah mereka memang sepasang sahabat yang bisa membaca pikiran satu sama lain. Hanya saja perasaan itu tak mereka utarakan, hanya mereka simpan dalam ingatan, ingatan yang bisa membuat mereka tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri manakala mengingatnya suatu hari. Sepanjang jalan kemudian mereka hanya diam seperti sebongkah tubuh yang kehilangan kata-kata. Tak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya terjebak dalam keheningan yang janggal. Di luar hujan mulai turun. Percikkan-percikkannya menciptakan setitik demi setitik air di jendela. Terbayang oleh lelaki itu peristiwa pertama kali mereka bertemu, dua hari yang lalu, ia masih ingat pucatnya wajah si gadis berkerudung yang seperti mayat hidup dan sepasang matanya yang kehilangan cahaya. Tapi, di pertemuan kali kedua ini, ia mendapati wajah si gadis berkerudung bersemu warna. Hanya saja, sepasang mata itu masih seperti telaga yang tak pernah kering, sorotnya selalu berkaca-kaca, seperti menyimpan tangis di dalamnya.

Laju kereta memelan begitu memasuki stasiun cikini. Di luar hujan mulai reda. Beberapa penumpang kemudian bersiap-siap turun, termasuk si lelaki dan gadis berkerudung itu. Mereka memilih pintu keluar yang sama dan berdiri bersebelahan.

“Kamu turun di sini juga?” tanya lelaki itu.

Seiring kereta yang berhenti dan pintunya yang terbuka, gadis berkerudung itu mengangguk tanpa menoleh, lalu bersama kerumunan penumpang yang lain ia melangkah keluar. Lelaki itu kemudian.

“Mau minum kopi?” tanya lelaki itu cepat, selagi gadis berkerudung itu masih dekat. Intonasinya lembut dan sopan, sehingga tak terkesan agresif, tak membuat siapa pun yang mendengarnya langsung menutup diri. Dan seakan tahu siapa si pemilik suara dan merasa kepada dirinyalah tanya itu menuju, gadis berkerudung itu berhenti berjalan. Jarak mereka masih cukup dekat. Mungkin sekitar lima meter. “Ada yang bilang, kopi bisa membuat segala sesuatu jadi lebih enteng,” tambah lelaki itu. Gadis berkerudung itu menoleh. Harapan lelaki itu mengembang. “Kalau kamu tidak suka kopi, tempat yang mau saya datangi juga menyediakan jenis minuman yang lain. Teh, juice, atau es krim, misalnya."

Selanjutnya lelaki itu menunggu jawaban dengan hati yang harap-harap cemas, bagai seorang terdakwa yang menunggu putusan hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun