Jika aku pergi dan pulang sekolah naik sepeda melewati pematang sawah di sebelah selatan sana, aku kerap melihat ia sedang merangkai bunga-bunga pada pagar kayu gubuknya sambil menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya hanya dia sendiri yang tahu lagu itu. Setiap pagi dan sore hari tanaman-tanaman itu selalu diberi pupuk dan disiramnya dengan kasih sayang laiknya seorang ibu kepada anak.
Langkahku berhenti di depan pagar rumahku dan memusatkan lagi perhatian kepada nyai Umi. Aku penasaran apa yang hendak ia lakukan di rumah saudagar kaya itu. Kulihat ia menenteng seember air dan berjalan ke tengah kebun di sana. Entah ini nyata ataukah khayalan, begitu ia mencelupkan tangannya ke ember dan mencurahkan air ke bunga-bunga yang layu itu, kulihat dari tangannya terhembus angin yang menerbangkan kelopak-kelopak bunga yang memesona. Lalu, saat ia melambaikan tangan, selembar pelangi terentang bagai selendang di atas kepalanya – sebentar, lalu pecah serupa butiran-butiran pupuk yang berwarna-warni.
Ada jeda panjang dari saat pertama imaji ditangkap hingga otakku berhasil mencerna apa yang tengah kulihat, ketika perlahan-lahan, sangat amat perlahan, tapi jelas tertangkap oleh mataku, bunga-bunga yang layu itu kembali menegak dan mekar diiringi kilauan-kilauan cahaya. Kuusap-usap mataku dengan punggung tangan, semua tampak nyata. Tapi aku belum yakin. Sayangnya, selain aku, tak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Sore itu, keadaan sedang sangat sepi.
**
Sejak bunga-bunga kesayangannya hidup kembali, bu Soetoyo dengan senang hati mempromosikan keahlian nyai Umi kepada para tetangga jika ada di antara kami yang kesulitan memelihara tanaman di rumah. Dan jika dipanggil untuk dimintai bantuan, nyai Umi senantiasa menyambut dengan wajah yang berseri. Apa yang dikatakan bu Soetoyo memang terbukti. Berbagai permasalahan warga terhadap tanaman mereka bisa diatasi nyai Umi dengan sangat mudah.
Nyai Umi makin dikenal saat pak RW memercayainya untuk mengurus tumbuhan-tumbuhan di lingkungan kampung Muara Kapuk. Dari sini pula nyai Umi mendapat penghasilan tambahan selain dari bertani.
Aku sendiri, semenjak melihat peristiwa yang menakjubkan di kebun rumah bu Soetoyo diam-diam selalu mengamati tindak-tanduk nyai Umi manakala ia sedang mengurus tumbuhan-tumbuhan di kampung ini. Aku sering terheran-heran. Acapkali kulihat nyai Umi berbicara dan bernyanyi saat menyirami bunga-bunga di taman-taman kampung ini. Kadang ia mengelus bahkan mengecup dan memeluk pohon-pohon di pingir-pinggir jalan dengan penuh perasaan. Pernah suatu pagi, warga kampung Muara Kapuk takjub karena dalam beberapa hari nyai Umi bisa membuat pohon ceri yang kering, tandus, dan nyaris ditebang kembali rimbun dan berbuah banyak. Mata mereka membulat, wajah mereka tercengang memandangi pohon itu. Mereka hanya melihat hasil. Aku melihat prosesnya, bagaimana nyai Umi senang mengajak bicara pohon itu dan memeluknya sambil bernyanyi. Lagunya terdengar aneh tapi sangat syahdu di telinga. Bahkan aku nyaris menangis karena nyanyian itu membuat hatiku damai. Nyai Umi bak malaikat yang dengan lingkaran aura cemerlang turun dari surga mewartakan kabar gembira dari langit bagi tumbuhan-tumbuhan di kampung ini. Kampung Muara Kapuk menjadi hijau, teduh, dan sejuk karena tumbuhan-tumbuhan di kampung ini seperti hidup bahagia dengan kami.
***
Tidak semua warga kampung Muara Kapuk menyukai nyai Umi. Sebagian ada yang bertolak belakang. Adalah pak Kodir dan teman-teman bekas tukang kebun di kampung Muara Kapuk yang selalu memandang sinis nyai Umi dari sisi yang tersembunyi. Barangkali, penyebabnya, karena nyai Umi secara tidak langsung telah merebut pendapatan mereka. Kesinisan mereka lambat laun menjadi kebencian lantaran pak RT rajin memuji-muji nyai Umi terkait kampung Muara Kapuk yang mendapat penghargaan di bidang penghijauan dari pak Lurah. Sayup-sayup aku kadang mendengar pembicaraan mereka di warung kopi dekat pohon asam itu kala aku berangkat ke sekolah. Mereka membicarakan nyai Umi dengan nada yang amat kesal.
Beberapa hari kemudian beredar isu yang mengatakan - entah siapa yang memulai - kalau nyai Umi adalah seorang perempuan tua yang memiliki ilmu hitam alias dukun. Isu itu kian dramatik karena dari obrolan-obrolan tetangga yang kudengar, tiap kali nyai Umi menghidupkan tumbuhan-tumbuhan yang mati akan selalu ada warga kampung Muara Kapuk yang meninggal. Semacam menjadi tumbal. Kematian itu biasanya terjadi sehari sesudah nyai Umi menghidupkan kembali tumbuhan-tumbuhan itu. Aku tidak percaya kendati memang begitu adanya. Tapi aku rasa itu hanya kebetulan belaka. Tak ada kaitannya antara takdir dengan nyai Umi.
Lambat laun tak hanya pak Kodir dan teman-teman bekas tukang kebun yang menunjukkan sikap ketidaksukaannya pada nyai Umi, ada segelintir warga lainnya yang turut. Keluargaku yang tidak memercayai hal-hal yang berbau mistis tentu tidak terhasut. Begitu pun sebagian besar warga kampung Muara Kapuk lainnya. Mereka percaya bahwa kemampuan nyai Umi menghidupkan dan menyuburkan tumbuhan adalah karunia yang diberikan Tuhan kepadanya. Bukan karena nyai Umi seorang dukun.