Dengan lantang, pak Kodir yang berdiri paling depan menjawab. “Nyai itu dukun! Nyai penyebab kematian warga di kampung ini!”
“Ya, betul!” Semua menyahut kompak.
“Saya tidak mengerti maksud bapak dan ibu?”
“Sudahlah! Sekarang nyai pilih pergi sendiri atau kami usir secara kasar!” tandas pak Kodir.
“Ya, betul!” sahut semua setuju.
Nyai Umi terdiam. Tubuhnya sempat tergeragap mendengar kata-kata itu. Ia tak mampu melawan atau bahkan bertahan, mungkin karena nyai Umi menyadari bahwa ia hanyalah warga pendatang. Sedang mereka yang mengusirnya adalah warga asli di kampung ini. Nyai Umi mendesah lirih sebelum kemudian membalikkan badan masuk ke dalam gubuknya. Puluhan warga itu kembali berteriak. Kali ini dengan teriakan yang berbeda.
“Pergi! Pergi! Pergi!” kata mereka seraya mengentak-ngentakkan tangan ke atas.
Nyai Umi kemudian muncul kembali di muka pintu dengan memanggul sebuah buntalan kain di punggungnya yang bungkuk. Binatang-binatang bergerak canggung tatkala nyai Umi melangkahkan kaki - keluar dari pintu gubuknya - untuk kali yang pertama. Sesaat keheningan mengambang di udara. Semua mata terpaku pada nyai Umi. Ia terus berjalan membelah kerumunan warga sambil menyunggingkan senyum getir dan mata yang memancarkan kesedihan. Lalu perlahan, seperti embun, tubuhnya meruap ditelan pekat malam bersama tiupan angin kencang yang meliukkan pohon-pohon di sekitar kami. Aku tak tahu, angin apa yang kemudian menerpa mataku ini. Rasanya perih sekali.
Satu jam setelah kepergian nyai Umi dan puluhan warga itu telah kembali ke rumah mereka, udara terasa pengap, kegelapan terasa padat. Anjing-anjing kampung yang biasa mondar-mandir tak seekor pun yang berkeliaran. Tak ada bunyi jangkrik dan raung kucing. Tak ada kunang-kunang yang beterbangan. Tak ada angin yang menyisir. Malam tampak muram.
***
Lonceng angin di gereja sayup-sayup berdenting di kejauhan. Aku terbangun dengan malas, menggeliat sebentar di kasur lalu membuka kaca jendela kamar lebar-lebar. Sesaat sinar matahari menerpa mataku. Angin datang mendesir. Kutarik napas panjang, namun tak sampai selesai, karena aku sudah lebih dulu terpagut oleh pemandangan di depanku.