Kulihat bu Soetoyo dan tetanggaku yang lain berdiri mematung di pekarangan rumah mereka dengan mata yang membelalak. Mereka seperti terperangah oleh karena sesuatu. Lantaran terusik, kucorongkan kepalaku ke luar jendela dan mengedarkan pandangan. Bukan main terkejutnya aku. Kejut yang tak biasa karena diiringi bulu kuduk yang menggigil.
“Apa yang terjadi dengan kampung ini?!” desisku.
Sejauh mata memandang segala tumbuhan mati. Pohon-pohon tandus. Daun-daun jatuh berserakkan dengan kontur yang mengeriput kering. Di dahan-dahan buah-buah membusuk. Bunga-bunga patah pada tangkainya dengan kelopak-kelopak yang menguncup. Rerumputan layu dengan warna yang kuning kecoklatan bagai habis terbakar. Tak ada embun. Tak ada kicauan burung-burung. Gersang dan amat sunyi. Muara Kapuk kini bagai kampung yang mati. (*)