“Bukan.”
“Uang seratus juta dollar. Dibayar. Tunai!” selorohku.
Ayahku tertawa terpingkal-pingkal. Perutnya yang cembung berguncang-guncang. Aling merengut.
Ibuku menggeleng. “Bukan.”
“Lalu pakai apa, bu?” tanyaku penasaran.
“Pakai daun.”
“Daun?” Aling termangu.
Ayahku mengangguk-angguk sembari melirik aku dan Aling. Senyumnya dilebar-lebarkan. Dadanya dibusungkan. Memamerkan rasa bangganya karena bisa menaklukkan ibuku - seorang dokter cantik - hanya dengan seonggok daun.
“Kok ibu mau saja dilamar pakai daun?” celetuk Aling.
Ibuku terkekeh. “Tidakkah menurut kalian daun itu luar biasa? Daunlah yang membongkar molekul air. Menghasilkan oksigen yang dilepas ke udara. Daunlah makhluk yang bisa memasak makanan sendiri. Dan karenanya, tahukah kalian kalori yang mengalir dari satu mata rantai ke mata rantai lain itu sesungguhnya berawal dari daun? Jadi daun itu sangat berarti jika kita mau menilainya lebih dalam. Bahkan lebih berarti dibandingkan kelopak bunga yang tampak memesona.”
Aku dan Aling terkesima mendengar penjelasan ibu.