“Kalian tidak percaya?” mata ayahku membulat. Kedua alisnya terangkat.
Aku yang tengah jongkok dan membuka arang yang masih terbungkus plastik bening, membisu. Ibu dan Aling yang tengah duduk sambil mengolah bumbu untuk daging panggangan pun membisu. Kami bertiga saling berpandang-pandangan. Lantas ayah menyeringai.
“Coba kalian lihatlah bangsa ini,” katanya. “Dari bangsa gajah, turun derajat jadi bangsa babi, lalu sekarang turun lagi jadi bangsa tikus. Iya, toh?” ayahku tertawa terbahak-bahak.
Aku yang mengerti maksud dari kata-kata ayahku itu, pun tertawa terbahak-bahak. Aku juga tahu bahwa kata-kata itu dikutip ayahku dari cerpen ‘Trilogi’ karangan A Muttaqin. Dasar ayah, senang sekali dia mengutip kalimat-kalimat cerpen yang dibacanya untuk jadi bahan celotehannya, ujarku membatin. Sedangkan Ibuku dan Aling melongo, mereka saling berpandang-pandangan dengan wajah yang penuh tanda tanya.
“Bu! Kenapa, sih, dulu ibu mau menikah sama ayah? Ibu kan cantik dan pintar, kok ya mau sama ayah yang jelek, jarang mandi, dan yang terutama ini; suka melawak tapi sering tidak lucu! Aneh!” ketus Aling.
“Justru karena ayah aneh makanya ibu mau menikah sama ayah,” ujar ayah sembari tersenyum nyinyir.
Aling mengernyit. “Maksud ayah, bu?” ditatapnya lekat-lekat mata ibu. Seperti ingin meminta penjelasan secepat dan seringkas-ringkasnya.
“Memang kau pikir, dulu ayahmu melamar ibu pakai apa?” ibuku balik bertanya.
“Ya pastinya pakai cincin emaslah, bu!” jawab Aling.
“Bukan.”
“Kalung berlian?”