Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Flatulensi

15 Februari 2016   19:37 Diperbarui: 21 April 2020   09:33 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Flatulensi adalah kata lain dari kentut. Dan kisah yang ingin saya ceritakan ini berkaitan dengan kentut. Lebih detilnya tentang hubungan saya, istri saya, dan kentut. Nama istri saya Maya Sumantri. Panggil saja dia Maya. Tingginya 165 cm dengan berat badan 55 kg. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam lurus sepundak. Badannya sintal. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Matanya belo. Dan dijamin 100% waras! 

Ciri-ciri yang saya sebutkan di atas cukuplah menggambarkan bahwa istri saya punya fisik yang menarik, setidaknya normal. Namun, terkait dengan tulisan yang saya paparkan di awal. Istri saya ini punya kebiasaan yang aneh, yang banyak orang anggap itu kebiasaan yang jorok, tidak sopan, dan lain sebagainya. Istri saya tidak bisa menahan kentut. Di waktu dan di tempat seperti apapun, jika dia ingin ketut, maka dia akan kentut. Entah kentutnya akan kencang atau pelan. Berdurasi panjang atau pendek. Bau atau bau sekali. Bunyi satu kali atau berkali-kali. Baginya itu urusan belakangan. Yang pasti dia tidak bisa menahan kentut. 

Pertama kali saya mengetahui kebiasaan aneh istri saya ini waktu kami masih berpacaran. Waktu itu, kami tengah makan malam di sebuah restorant di bilangan Selatan Jakarta yang suasananya cukup romantis. Interiornya, ornamennya, dan furniturnya bernuansa serba Eropa. Sangat spesial bukan? Jelas karena ini adalah makan malam pertama kami sebagai sepasang kekasih, setelah dua hari sebelumnya saya menyatakan cinta padanya dan dia menerima saya saat itu juga, tanpa menunda-nunda. Tak sulit mendapatkannya. Karena kami sudah lama berteman dan diam-diam saling suka. 

Kami duduk berhadap-hadapan, di bawah lampu-lampu kristal yang cahayanya temaram. Saya mengenakan kemeja biru muda, jeans hitam, dan sepatu skate. Maya memakai dress biru muda bermotif floral, dan sandal bertali. Bukan suatu kebetulan kalau kami sama-sama memakai atasan berwarna biru muda, kerena sebelumnya kami telah sepakat, akan memakai baju yang sewarna. Sebagaimana pasangan muda lainnya, kami senang memadu-padankan warna pakaian kami agar terlihat kompak dan serasi. 

Di tengah kami menyantap Raciones dan Strawberry Blush meletuslah suara yang tak enak didengar kuping, (mungkin) juga hati. Maya flatulensi a.k.a kentut! Kejadiannya sangat tiba-tiba dan penuh spontanitas. Saya lihat air muka Maya yang sebelumnya bening langsung memucat. Dia merunduk, lalu melirik saya dengan kikuk. Saya tahu hatinya tengah dipagut rasa malu. Sampai-sampai dia bersikap laksana penderita kusta yang harus disingkirkan dari pemandangan semua orang. Di dalam bola matanya terpancar berbagai macam perasaan. Takut, sesal, payah, dan malu timbul-tenggelam di situ. Orang-orang di sekeliling kami memusatkan perhatiannya kepada kami. Sebagian ada yang langsung tak acuh, namun tak sedikit pula yang berbisik-bisik dan mendelik sinis. 

Saya tersenyum dan memberi tatapan yang lembut untuk melipur hati Maya yang tengah gulana. Saya isyaratkan bahwa saya sedikitpun tak terganggu oleh suara yang meletus dari lubang duburnya itu, yang kemudian menguarkan aroma yang busuk itu. Namun, dari sorot matanya yang berair, tahulah saya bahwa dia butuh penegasan yang lebih dari itu. Maka saya genggam jemari tangan kanannya, dan saya tatap satu-persatu mereka yang masih menumbukkan mata kepada kami. Seolah-olah saya katakan kepada mereka. ‘Perempuan yang kentut ini kekasih saya. Maafkan dia karena dia tidak sengaja. Tetapi saya siap menghardik kalian, kalau kalian membalasnya secara berlebihan yang berujung menyakiti hatinya’. 

Saya kembalikan tatapan saya kepada Maya. Lalu membisikkan kata-kata yang mungkin bisa membangkitkan lagi gairahnya untuk melanjutkan makan malam kami. ‘Tidak apa-apa’. Desis saya. Dan syukurlah, setelah itu, wajah Maya yang kejang kembali lentur. Dia membalas saya dengan senyum yang menyisakan raut penyesalan. Berkali-kali dia meminta maaf atas kejadian yang memalukan itu di dalam taxi - di tengah perjalanan saya mengantarnya pulang. Dia berterimakasih pula karena pemakluman saya yang dirasakannya begitu besar. 

“Apa kau sedang masuk angin?” 

Maya menggeleng. Dia lalu mengatakan, bahwa dia memang tidak bisa menahan tekanan gas akibat gerakan peristaltik usus itu barang sedetikpun. Kebiasaan anehnya itu sudah berlangsung sedari dia masih kanak-kanak. Alhasil, mereka yang tidak tahu hal itu, menganggap dia kentut sembarangan dan tidak tahu sopan santun.

“Bersamaku jadilah bagaimana dirimu adanya. Kewanitaanmu di mataku tak akan jatuh hanya karena kebiasaan anehmu itu,” imbuh saya. 

Maya tersenyum. Kepalanya yang bulat seperti telur disandarkannya di bahu saya. Lengan kiri saya didekapnya mesra. Hangat. Meski di luar sana hujan sudah tumpah.

“Terimakasih. Aku lega mendengarnya,” katanya.

Sejak itu, di mana pun kami berada dan apa pun yang sedang kami kerjakan, jika dia ingin kentut, maka dia akan kentut, dan saya menanggapinya dengan reaksi yang santai, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi, malah acapkali saya tanggapi dengan tawa. Menertawai kebiasaan anehnya itu bersama dia.

“Baiknya kalau kau makan jangan suka terburu-buru, jangan sering minum soft drink, kacang-kacangan, jagung, paprika, kubis, kembang kol, susu, dan ubi. Itu bisa mengurangi frekuensi kentut,” ujar saya suatu hari, ketika kami lari pagi di bilangan pusat Jakarta.

“Kau tahu itu dari mana?” 

“Dari website yang kubaca semalam.” 

Maya berhenti berlari dan diam di tempat. Saya pun demikian. 

“Bukannya kau pernah bilang, mencintaiku apa adanya? Masihkah itu sampai sekarang?”  

Dari sorot matanya yang sayu, tahulah saya kalau saya telah menyinggung perasaannya. “Jangan marah dulu. Aku hanya ingin membantumu menghilangkan kebiasaan anehmu itu. Bukannya kau sendiri yang pernah bilang kalau kau ingin menghilangkannya. Iya, kan?”

Maya cuma diam. Tak berkata barang sepenggal pun.

“Tapi sudah. Tak perlu dibahas lagi. Kau mau kentut di mana pun, dan di saat seperti apa pun, cintaku padamu tak akan berkurang. Asal kau tahu itu.” 

Maya tetap cemberut. Tapi saya tahu, hatinya senang mendengar saya berkata begitu, itu terlihat dari matanya yang memantulkan kegembiraan yang coba dia sembunyikan, tapi gagal. 

Hari demi Hari. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Demikianlah berlangsung perjalanan cinta kami tanpa sedikit pun mengalami rintangan yang berarti sampai kami menikah. Masih segar dalam ingatan. Dengan pakaian pengantin serba putih, kami melangkah berdampingan menuju Romo Martawi yang telah berdiri di depan altar. Lagu From This Moment On milik Shania Twain yang dinyanyikan koor dengan iringan piano bersandung merdu. Dari sudut pandang yang lain, keluarga besar kami menyaksikan momen yang sakral ini dari deretan bangku umat. Saya lihat mertua dan orangtua saya menangis, memilin perasaan mereka yang tengah mengharu-biru. 

Maya tampak sangat gugup begitu kami sampai di hadapan Romo Martawi. Dan yang saya khawatirkan pun terjadi, sejurus kemudian terdengarlah suara letupan dari dalam gaun pengantinnya. Hanya Maya, saya, dan Romo Martawi yang tahu. Tuhan? Entahlah...

Yang pasti, saat saya memicingkan mata, saya lihat wajah Maya memerah, menyiratkan betapa besar rasa malu yang tengah ditanggungnya. Air mata penyesalan menggenang di tapuk matanya. Dia menggigit bibirnya yang tipis seperti ingin menggigit-putuskan bibirnya itu. Saya raih jemari tangan kirinya hingga tapak-tangan kami berdua saling memagut. Saya biarkan kehangatan temperatur darah pada tangan kanan saya mencairkan tubuhnya yang membeku. Romo Martawi tersenyum melihat tingkah kami berdua. Dan kami pun diberkatinya. 

Matahari menyeruak dari ujung-ujung pohon bambu yang tumbuh di halaman rumah tetangga kami. Pagi itu, setelah kami melewati malam pertama yang begitu mengesankan dan ingin segera kami ulang-ulang. Maya seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri. Sambil tangannya sibuk membuka roti tawar yang masih terbungkus plastik bening di meja makan. 

“Aku heran, kenapa kemarin Romo Martawi sama sekali tidak kaget atau marah padaku? Malahan dia tersenyum. Apa karena dia seorang Romo maka dia begitu panjang sabar?” 

Kening Maya mengerut. Kedua ujung alisnya hampir bertabrakan. Karena saya yang tengah membuka tutup toples selai terkekeh menanggapi pertanyaannya itu. 

“Jangan meledek!” Maya mendelik.

“Siapa yang meledek? Tentu saja Romo Martawi tidak kaget atau marah padamu. Karena sehari sebelum pemberkatan perkawinan kita, aku sudah memberi tahu tentang kebiasaan anehmu itu padanya,” kata saya.

Maya terperangah. Cukup lama. Namun kemudian dia tersenyum. Dan senyumnya semakin melebar sampai akhirnya dia tertawa terbahak-bahak. Saya pun jadi ikut tertawa. Suara tawa kami ditingkahi angin yang menyelusup dari jendela rumah bedeng kami - yang tengah kami cicil bersama. Setelah kami puas tertawa sampai pipi kami terasa pegal, Maya bangkit dari bangku, disorongkan wajahnya pada saya yang duduk di depannya. Kemudian dikecupnya bibir saya. Lalu berkata.

“Aku ingin mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku. Jauhlah dari padaku mencintaimu hanya disaat kau untung saja,” ujarnya dengan suara yang lunak dan lembut. Kami bersitatap dengan jarak pandang yang tipis. Mungkin barang sejengkal. Sungguh, dia telah menggugah perasaan saya sebagai suaminya.

Kami bahagia dengan kehidupan rumah tangga kami yang berkecukupan. Dengan mengandalkan gaji saya sebagai wartawan di media yang tak besar, dan Maya sebagai guru bahasa inggris yang masih honorer, tak mungkinlah kami bermewah-mewah. Lagi pula, sebelum menikah, kami sudah sepakat, hidup ini tak mesti diisi dengan sesuatu yang besar dan megah. Sederhana, tetapi penuh kejujuran sudah cukup bagi hidup perkawinan kami. Dan anehnya, semenjak menikah, saya tak pernah lagi mendengar istri saya itu kentut. Di belakang saya? Entahlah. Dan yang lebih aneh lagi, saya jadi merindukan kentutnya itu. Hal itu bertahan hingga dua tahun kemudian dia melahirkan anak pertama kami, seorang bayi perempuan yang cantik, secantik ibunya, bahkan mungkin lebih cantik, karena dia mewarisi alis tebal dan lesung pipi saya. 

Sampailah pada suatu malam, di saat si peril kecil kami itu sudah terlelap di ranjangnya yang mungil, di sebelah ranjang kami. Kebiasaan aneh Maya sekonyong-koyong kambuh lagi. Saya yang tengah merebahkan badan di sandaran kasur dan asyik membaca artikel tips menjaga tumbuh-kembang bayi di android kontan terkejut! Maya yang sudah tidur pulas sejak tadi tiba-tiba saja kentut dari balik selimut! 

“Brutt!” (*) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun