“Terimakasih. Aku lega mendengarnya,” katanya.
Sejak itu, di mana pun kami berada dan apa pun yang sedang kami kerjakan, jika dia ingin kentut, maka dia akan kentut, dan saya menanggapinya dengan reaksi yang santai, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi, malah acapkali saya tanggapi dengan tawa. Menertawai kebiasaan anehnya itu bersama dia.
“Baiknya kalau kau makan jangan suka terburu-buru, jangan sering minum soft drink, kacang-kacangan, jagung, paprika, kubis, kembang kol, susu, dan ubi. Itu bisa mengurangi frekuensi kentut,” ujar saya suatu hari, ketika kami lari pagi di bilangan pusat Jakarta.
“Kau tahu itu dari mana?”
“Dari website yang kubaca semalam.”
Maya berhenti berlari dan diam di tempat. Saya pun demikian.
“Bukannya kau pernah bilang, mencintaiku apa adanya? Masihkah itu sampai sekarang?”
Dari sorot matanya yang sayu, tahulah saya kalau saya telah menyinggung perasaannya. “Jangan marah dulu. Aku hanya ingin membantumu menghilangkan kebiasaan anehmu itu. Bukannya kau sendiri yang pernah bilang kalau kau ingin menghilangkannya. Iya, kan?”
Maya cuma diam. Tak berkata barang sepenggal pun.
“Tapi sudah. Tak perlu dibahas lagi. Kau mau kentut di mana pun, dan di saat seperti apa pun, cintaku padamu tak akan berkurang. Asal kau tahu itu.”
Maya tetap cemberut. Tapi saya tahu, hatinya senang mendengar saya berkata begitu, itu terlihat dari matanya yang memantulkan kegembiraan yang coba dia sembunyikan, tapi gagal.