Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Flatulensi

15 Februari 2016   19:37 Diperbarui: 21 April 2020   09:33 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari demi Hari. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Demikianlah berlangsung perjalanan cinta kami tanpa sedikit pun mengalami rintangan yang berarti sampai kami menikah. Masih segar dalam ingatan. Dengan pakaian pengantin serba putih, kami melangkah berdampingan menuju Romo Martawi yang telah berdiri di depan altar. Lagu From This Moment On milik Shania Twain yang dinyanyikan koor dengan iringan piano bersandung merdu. Dari sudut pandang yang lain, keluarga besar kami menyaksikan momen yang sakral ini dari deretan bangku umat. Saya lihat mertua dan orangtua saya menangis, memilin perasaan mereka yang tengah mengharu-biru. 

Maya tampak sangat gugup begitu kami sampai di hadapan Romo Martawi. Dan yang saya khawatirkan pun terjadi, sejurus kemudian terdengarlah suara letupan dari dalam gaun pengantinnya. Hanya Maya, saya, dan Romo Martawi yang tahu. Tuhan? Entahlah...

Yang pasti, saat saya memicingkan mata, saya lihat wajah Maya memerah, menyiratkan betapa besar rasa malu yang tengah ditanggungnya. Air mata penyesalan menggenang di tapuk matanya. Dia menggigit bibirnya yang tipis seperti ingin menggigit-putuskan bibirnya itu. Saya raih jemari tangan kirinya hingga tapak-tangan kami berdua saling memagut. Saya biarkan kehangatan temperatur darah pada tangan kanan saya mencairkan tubuhnya yang membeku. Romo Martawi tersenyum melihat tingkah kami berdua. Dan kami pun diberkatinya. 

Matahari menyeruak dari ujung-ujung pohon bambu yang tumbuh di halaman rumah tetangga kami. Pagi itu, setelah kami melewati malam pertama yang begitu mengesankan dan ingin segera kami ulang-ulang. Maya seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri. Sambil tangannya sibuk membuka roti tawar yang masih terbungkus plastik bening di meja makan. 

“Aku heran, kenapa kemarin Romo Martawi sama sekali tidak kaget atau marah padaku? Malahan dia tersenyum. Apa karena dia seorang Romo maka dia begitu panjang sabar?” 

Kening Maya mengerut. Kedua ujung alisnya hampir bertabrakan. Karena saya yang tengah membuka tutup toples selai terkekeh menanggapi pertanyaannya itu. 

“Jangan meledek!” Maya mendelik.

“Siapa yang meledek? Tentu saja Romo Martawi tidak kaget atau marah padamu. Karena sehari sebelum pemberkatan perkawinan kita, aku sudah memberi tahu tentang kebiasaan anehmu itu padanya,” kata saya.

Maya terperangah. Cukup lama. Namun kemudian dia tersenyum. Dan senyumnya semakin melebar sampai akhirnya dia tertawa terbahak-bahak. Saya pun jadi ikut tertawa. Suara tawa kami ditingkahi angin yang menyelusup dari jendela rumah bedeng kami - yang tengah kami cicil bersama. Setelah kami puas tertawa sampai pipi kami terasa pegal, Maya bangkit dari bangku, disorongkan wajahnya pada saya yang duduk di depannya. Kemudian dikecupnya bibir saya. Lalu berkata.

“Aku ingin mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku. Jauhlah dari padaku mencintaimu hanya disaat kau untung saja,” ujarnya dengan suara yang lunak dan lembut. Kami bersitatap dengan jarak pandang yang tipis. Mungkin barang sejengkal. Sungguh, dia telah menggugah perasaan saya sebagai suaminya.

Kami bahagia dengan kehidupan rumah tangga kami yang berkecukupan. Dengan mengandalkan gaji saya sebagai wartawan di media yang tak besar, dan Maya sebagai guru bahasa inggris yang masih honorer, tak mungkinlah kami bermewah-mewah. Lagi pula, sebelum menikah, kami sudah sepakat, hidup ini tak mesti diisi dengan sesuatu yang besar dan megah. Sederhana, tetapi penuh kejujuran sudah cukup bagi hidup perkawinan kami. Dan anehnya, semenjak menikah, saya tak pernah lagi mendengar istri saya itu kentut. Di belakang saya? Entahlah. Dan yang lebih aneh lagi, saya jadi merindukan kentutnya itu. Hal itu bertahan hingga dua tahun kemudian dia melahirkan anak pertama kami, seorang bayi perempuan yang cantik, secantik ibunya, bahkan mungkin lebih cantik, karena dia mewarisi alis tebal dan lesung pipi saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun