Flatulensi adalah kata lain dari kentut. Dan kisah yang ingin saya ceritakan ini berkaitan dengan kentut. Lebih detilnya tentang hubungan saya, istri saya, dan kentut. Nama istri saya Maya Sumantri. Panggil saja dia Maya. Tingginya 165 cm dengan berat badan 55 kg. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam lurus sepundak. Badannya sintal. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Matanya belo. Dan dijamin 100% waras!
Ciri-ciri yang saya sebutkan di atas cukuplah menggambarkan bahwa istri saya punya fisik yang menarik, setidaknya normal. Namun, terkait dengan tulisan yang saya paparkan di awal. Istri saya ini punya kebiasaan yang aneh, yang banyak orang anggap itu kebiasaan yang jorok, tidak sopan, dan lain sebagainya. Istri saya tidak bisa menahan kentut. Di waktu dan di tempat seperti apapun, jika dia ingin ketut, maka dia akan kentut. Entah kentutnya akan kencang atau pelan. Berdurasi panjang atau pendek. Bau atau bau sekali. Bunyi satu kali atau berkali-kali. Baginya itu urusan belakangan. Yang pasti dia tidak bisa menahan kentut.
Pertama kali saya mengetahui kebiasaan aneh istri saya ini waktu kami masih berpacaran. Waktu itu, kami tengah makan malam di sebuah restorant di bilangan Selatan Jakarta yang suasananya cukup romantis. Interiornya, ornamennya, dan furniturnya bernuansa serba Eropa. Sangat spesial bukan? Jelas karena ini adalah makan malam pertama kami sebagai sepasang kekasih, setelah dua hari sebelumnya saya menyatakan cinta padanya dan dia menerima saya saat itu juga, tanpa menunda-nunda. Tak sulit mendapatkannya. Karena kami sudah lama berteman dan diam-diam saling suka.
Kami duduk berhadap-hadapan, di bawah lampu-lampu kristal yang cahayanya temaram. Saya mengenakan kemeja biru muda, jeans hitam, dan sepatu skate. Maya memakai dress biru muda bermotif floral, dan sandal bertali. Bukan suatu kebetulan kalau kami sama-sama memakai atasan berwarna biru muda, kerena sebelumnya kami telah sepakat, akan memakai baju yang sewarna. Sebagaimana pasangan muda lainnya, kami senang memadu-padankan warna pakaian kami agar terlihat kompak dan serasi.
Di tengah kami menyantap Raciones dan Strawberry Blush meletuslah suara yang tak enak didengar kuping, (mungkin) juga hati. Maya flatulensi a.k.a kentut! Kejadiannya sangat tiba-tiba dan penuh spontanitas. Saya lihat air muka Maya yang sebelumnya bening langsung memucat. Dia merunduk, lalu melirik saya dengan kikuk. Saya tahu hatinya tengah dipagut rasa malu. Sampai-sampai dia bersikap laksana penderita kusta yang harus disingkirkan dari pemandangan semua orang. Di dalam bola matanya terpancar berbagai macam perasaan. Takut, sesal, payah, dan malu timbul-tenggelam di situ. Orang-orang di sekeliling kami memusatkan perhatiannya kepada kami. Sebagian ada yang langsung tak acuh, namun tak sedikit pula yang berbisik-bisik dan mendelik sinis.
Saya tersenyum dan memberi tatapan yang lembut untuk melipur hati Maya yang tengah gulana. Saya isyaratkan bahwa saya sedikitpun tak terganggu oleh suara yang meletus dari lubang duburnya itu, yang kemudian menguarkan aroma yang busuk itu. Namun, dari sorot matanya yang berair, tahulah saya bahwa dia butuh penegasan yang lebih dari itu. Maka saya genggam jemari tangan kanannya, dan saya tatap satu-persatu mereka yang masih menumbukkan mata kepada kami. Seolah-olah saya katakan kepada mereka. ‘Perempuan yang kentut ini kekasih saya. Maafkan dia karena dia tidak sengaja. Tetapi saya siap menghardik kalian, kalau kalian membalasnya secara berlebihan yang berujung menyakiti hatinya’.
Saya kembalikan tatapan saya kepada Maya. Lalu membisikkan kata-kata yang mungkin bisa membangkitkan lagi gairahnya untuk melanjutkan makan malam kami. ‘Tidak apa-apa’. Desis saya. Dan syukurlah, setelah itu, wajah Maya yang kejang kembali lentur. Dia membalas saya dengan senyum yang menyisakan raut penyesalan. Berkali-kali dia meminta maaf atas kejadian yang memalukan itu di dalam taxi - di tengah perjalanan saya mengantarnya pulang. Dia berterimakasih pula karena pemakluman saya yang dirasakannya begitu besar.
“Apa kau sedang masuk angin?”
Maya menggeleng. Dia lalu mengatakan, bahwa dia memang tidak bisa menahan tekanan gas akibat gerakan peristaltik usus itu barang sedetikpun. Kebiasaan anehnya itu sudah berlangsung sedari dia masih kanak-kanak. Alhasil, mereka yang tidak tahu hal itu, menganggap dia kentut sembarangan dan tidak tahu sopan santun.
“Bersamaku jadilah bagaimana dirimu adanya. Kewanitaanmu di mataku tak akan jatuh hanya karena kebiasaan anehmu itu,” imbuh saya.
Maya tersenyum. Kepalanya yang bulat seperti telur disandarkannya di bahu saya. Lengan kiri saya didekapnya mesra. Hangat. Meski di luar sana hujan sudah tumpah.