Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Gadis yang Membakar Senyap

5 Februari 2016   09:51 Diperbarui: 5 Februari 2016   19:34 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Kau menarik napas. Dalam. Lantas mengembus. Panjang. Matamu memejam. Ada gurat kecewa di raut wajahmu yang muram. Kalau saja kau tak memegang teguh kata-kata ibu, kau pasti sudah menangis karena sesal yang tak terperi, namun kau tahan sehingga bibirmu bergetar. Kau teringat ibu pernah bilang, air mata adalah pusaka bagi perempuan, jika tidak sangat diperlukan maka tidak usah digunakan. 

**

Andai bibirmu yang mungil mau berkata jujur, sebenarnya bukan pendidikan yang membuatmu ingin merantau, melainkan karena kau tergoda oleh gemerlapnya kehidupan remaja metropolitan. Hasrat itu sudah tumbuh sejak kau duduk di bangku sekolah dasar, tepatnya ketika stasiun-stasiun televisi gencar menayangkan serial drama yang mengangkat kehidupan remaja metropolitan. Kau terpikat pada mewahnya suasana perkotaan, gaya berpakaian, hingga ‘bahasa gaul’ yang dilakoni para artis dalam serial drama tersebut. 

Sejak itulah, hampir setiap malam, sembari duduk di depan jendela kamar yang kau buka lebar dan memandangi gemintang, kau membayangkan kehidupan remaja metropolitan yang seru dan riuh, seperti yang selalu kau tonton di televisi, tatkala selesai mencuci pakaian di tepi Sungai Brantas dengan gadis-gadis desa lainnya atau usai memetik daun teh di lereng Gunung Arjuna bersama ibu. 

Suatu hari, di bawah lindap biru purnama, kau bertekad, tak mau selamanya menjadi gadis kampung, kau ingin berubah menjadi gadis kota yang fungky dan gaul! Lagi pula, kau merasa, perangaimu lebih cocok sebagai gadis kota. Kulitmu putih, hidungmu mancung, gigimu persis gigi kelinci, dan alismu tebal macam disulam. Kecantikan masa kini, ujarmu di depan cermin kamar. Dan kecantikan itu senantiasa kau syukuri, karena kau tak perlu menghabiskan uang berjuta-juta untuk operasi.

Akhirnya, setelah menerima ijazah sekolah menengah pertama, kau mengutarakan hasratmu itu kepada bapak dan ibu dengan dalih ingin mengenyam pendidikan di kota. Bapak tidak melarang kau merantau, justru ia senang, karena anak sulungnya akan belajar mandiri. Bapak juga tak mempersoalkan biaya. Ia punya cukup uang sebagai peternak sapi yang sukses di Sumber Brantas. Namun, bapak pikir, alangkah lebih baik kau hengkang ketika akan lanjut ke perguruan tinggi, karena terlalu riskan untuk gadis belia seusiamu melenggang ke kota yang menurut kabar angin lebih liar daripada hutan rimba. 

Tetapi kau bergeming, dan di hari-hari berikutnya kau sering mengurung diri di kamar, tak pernah lagi menyantap lauk-pauk bersama bapak, ibu, dan dua adik lelakimu di meja makan, kendati ibu sudah berkali-kali membujukmu. Kalau pun keluar kamar untuk mengerjakan tugas rumah, macam mencuci pakaian atau menyapu teras, wajahmu selalu masam. Tak tahan melihatmu seperti itu lebih lama, akhirnya bapak mengalah. Lalu meminta ibu untuk kembali membujukmu makan bersama, hanya bedanya, malam itu ibu ke kamarmu sekaligus menyampaikan ada hal penting yang ingin bapak bicarakan. Saat kau tanyakan kepada ibu mengenai apa? Ibu mengisyaratkan ketidaktahuannya dengan mengangkat kedua pundak. Dengan wajah yang dimuram-muramkan, kau menemui bapak yang sudah duduk bersama dua adik lelakimu di balik meja makan. Ibu menyusulmu dari belakang.

“Kalau tekadmu memang sudah bulat, baiklah. Di sana kau bisa tinggal di rumah Soimah. Bibimu itu kaya-raya pastilah kau tak akan menjadi beban baginya. Bapak juga akan memintanya untuk mengurus pendaftaran SMA-mu di sana,” ujar bapak di tengah makan malam itu.

Ibu hanya manggut-manggut. Apa mau dikata, ijin sudah diberikan bapak. Wajahmu yang seminggu belakangan tampak kelam langsung berkilauan cahaya. Kau melompat-lompat kegirangan, lalu memeluk bapak dan ibu dari belakang hingga makanan di mulut mereka bermuncratan. Terbahak-bahak kedua adik lelakimu melihatnya.

Setelah semua keperluanmu di kota metropolitan itu telah bibi urus, akhirnya pada jadwal tiket kereta yang telah ditentukan, bapak dan ibu melepasmu di stasiun Malang dengan seulas senyum dan lambaian tangan, yang meski tanpa air mata namun kau bisa melihat keharuan dari sorot mereka yang sayu.

Lokomotif meraung, disusul lengkingan peluit kepala stasiun, lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, kereta melaju - mengantarmu ke kota impian.

**

Kau terhenyak begitu seekor kupu-kupu bersayap jingga hinggap di lutut kananmu. Kau menoleh ke kiri dan ke kanan. Dua teman sekelasmu masih mengapitmu di bangku panjang pekarangan sekolah itu. Bibir mereka masih saja mengatup, mata mereka beku, hanya jemari mereka yang bergerak menekan-nekan gadget di tangan. Kau merasa mereka tak benar-benar ada, semu. Kupu-kupu bersayap jingga itu kembali terbang saat kau hendak menangkapnya pelan-pelan. 

Pandangamu menjelajah murid-murid yang bertebaran di halaman-halaman kelas. Pun senyap kau rasakan di sana. Begitu senyap, sampai-sampai kau merasa bukan melihat sekawanan manusia, melainkan sekumpulan manikin yang tengah berpose dengan aneka gadget di tangan. Telepon pintar di saku rok mini seragammu, kau ambil. Kau pandangi sejenak dan kau taruh lagi. Entah mengapa kau tak terlalu tertarik pada benda yang ukurannya sebesar batubata itu – telepon pintar bermerk terkenal yang kau beli seminggu yang lalu setelah mendapat kiriman uang dari bapak. Yang sudah-sudah, benda itu hanya akan membuatmu diam, sebagaimana orang-orang di sekolahmu. 

Perlahan kau bangkit dari bangku, lalu menuju kantin dengan langkah yang lunglai. Berkali-kali badanmu menggigil saat melewati murid-murid yang berhamburan di halaman-halaman kelas.

“Mereka sudah sinting! Tertawa, tersenyum, menangis, dan marah-marah pada benda mati!” rutukmu.

Jalanmu semakin cepat, dan kau berharap di kantin menemukan seseorang yang bisa diajak berbincang dengan kata-kata dan tatapan yang bermakna, sehingga rasa kesepianmu tumpas. Tetapi sia-sia. Kantin memang ramai oleh manusia namun mereka pun membisu. Suasana hening, sampai-sampai kau bisa mendengar deru napasmu sendiri. Guru, murid, penjual makanan, petugas kebersihan, satpam, hingga pemulung tergabung dalam keheningan itu. Kepala mereka terus menunduk menatap dunia maya yang mereka genggam.

“Kalian itu semestinya lebih sering menatap ke depan! Perlu menengok ke kiri dan ke kanan! Dan sesekali menoleh ke belakang! Melihat kenyataan!” pekikmu dalam hati.

Dengan langkah yang tegas, kau beringsut dari kantin. Mukamu geram. Matamu nyalang. Gigimu bergemeletuk. Sebulan kau di kota metropolitan itu, yang kau dapat adalah perasaan terlantar, sendiri, dan kesepian. 

Awan bergerak dengan pola yang tak beraturan, seperti sedang gelisah, ketika di belokan ujung sekolah kau menghilang.

Mula-mula asap tipis keluar dari celah-celah gudang bertembok papan tripleks dan beratap seng yang teronggok di belakang sekolah. Lambat-laun asap itu menebal, membumbung hingga langit menghitam. Terdengar letupan-letupan kayu dan seng yang terbakar. Tak lama kemudian, api menyembur menerobos atap gudang. 

“Kebakaraaaaannn!” teriak seorang siswi yang entah di mana.

Semua orang di sekolah itu tersentak. Mulut mereka berkata-kata. Mata mereka berpendar. Tubuh mereka bergerak. Mereka berlari tunggang-langgang ke sumber asap itu. Mereka bergotong-royong memadamkan kobaran api yang mulai merambati pepohonan. Tergopoh-gopoh mereka menenteng apa pun yang berisi air hingga berceceran. Suasana ramai, tak lagi sunyi. Ada interaksi, tak lagi sibuk sendiri-sendiri. Di tengah massa yang berseliweran bagai kilat, samar-samar tampak sosokmu berdiri di balik kelebat asap itu. Wajahmu tampak sendu. Bibirmu bergetar. Air matamu jatuh. 

“Bapak, ibu. Aku ingin pulang,” desismu lirih, kedua tangan kau umpat ke belakang, menyembunyikan setengah botol bensin dan korek api yang kau genggam. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun