**
Kau terhenyak begitu seekor kupu-kupu bersayap jingga hinggap di lutut kananmu. Kau menoleh ke kiri dan ke kanan. Dua teman sekelasmu masih mengapitmu di bangku panjang pekarangan sekolah itu. Bibir mereka masih saja mengatup, mata mereka beku, hanya jemari mereka yang bergerak menekan-nekan gadget di tangan. Kau merasa mereka tak benar-benar ada, semu. Kupu-kupu bersayap jingga itu kembali terbang saat kau hendak menangkapnya pelan-pelan.
Pandangamu menjelajah murid-murid yang bertebaran di halaman-halaman kelas. Pun senyap kau rasakan di sana. Begitu senyap, sampai-sampai kau merasa bukan melihat sekawanan manusia, melainkan sekumpulan manikin yang tengah berpose dengan aneka gadget di tangan. Telepon pintar di saku rok mini seragammu, kau ambil. Kau pandangi sejenak dan kau taruh lagi. Entah mengapa kau tak terlalu tertarik pada benda yang ukurannya sebesar batubata itu – telepon pintar bermerk terkenal yang kau beli seminggu yang lalu setelah mendapat kiriman uang dari bapak. Yang sudah-sudah, benda itu hanya akan membuatmu diam, sebagaimana orang-orang di sekolahmu.
Perlahan kau bangkit dari bangku, lalu menuju kantin dengan langkah yang lunglai. Berkali-kali badanmu menggigil saat melewati murid-murid yang berhamburan di halaman-halaman kelas.
“Mereka sudah sinting! Tertawa, tersenyum, menangis, dan marah-marah pada benda mati!” rutukmu.
Jalanmu semakin cepat, dan kau berharap di kantin menemukan seseorang yang bisa diajak berbincang dengan kata-kata dan tatapan yang bermakna, sehingga rasa kesepianmu tumpas. Tetapi sia-sia. Kantin memang ramai oleh manusia namun mereka pun membisu. Suasana hening, sampai-sampai kau bisa mendengar deru napasmu sendiri. Guru, murid, penjual makanan, petugas kebersihan, satpam, hingga pemulung tergabung dalam keheningan itu. Kepala mereka terus menunduk menatap dunia maya yang mereka genggam.
“Kalian itu semestinya lebih sering menatap ke depan! Perlu menengok ke kiri dan ke kanan! Dan sesekali menoleh ke belakang! Melihat kenyataan!” pekikmu dalam hati.
Dengan langkah yang tegas, kau beringsut dari kantin. Mukamu geram. Matamu nyalang. Gigimu bergemeletuk. Sebulan kau di kota metropolitan itu, yang kau dapat adalah perasaan terlantar, sendiri, dan kesepian.
Awan bergerak dengan pola yang tak beraturan, seperti sedang gelisah, ketika di belokan ujung sekolah kau menghilang.
Mula-mula asap tipis keluar dari celah-celah gudang bertembok papan tripleks dan beratap seng yang teronggok di belakang sekolah. Lambat-laun asap itu menebal, membumbung hingga langit menghitam. Terdengar letupan-letupan kayu dan seng yang terbakar. Tak lama kemudian, api menyembur menerobos atap gudang.
“Kebakaraaaaannn!” teriak seorang siswi yang entah di mana.