Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Pendidikan di Danau Rana

22 Maret 2016   20:38 Diperbarui: 22 Maret 2016   20:47 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak Ada Guru, Lebih Baik Menambang

Ketika semua daerah sedang berkompetisi dalam dunia pendidikan, ingin menjadi yang terbaik, sebagian sekolah di pegunungan Rana, Kecamatan Fena Leisela, Buru, Provinsi Maluku justru terpaksa ditutup. Tidak ada guru. Sebagian siswanya pun memilih membantu orang tua menambang emas, meski cita-cita mereka setinggi langit.

Tajudin Buano-Ambon

Yastrib Akbar Souwakil dan sejumlah anggota Himpunan Mahasiswa Kabupaten (Himkab) Buru, tak menyangka ketika mengunjungi Wagrahi, salah satu desa di pegunungan ranah, kecamatan Fena Leisela 21 Februari 2016. Mereka mendapati Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap Waegrahe yang sunyi dari aktivitas belajar mengajar, tak seperti sekolah lain pada umumnya.

“Pada saat kami datang kesana untuk mengajar, masih tersisah 5 orang siswa yang punya niat untuk belajar. Kelas I satu orang, kelas II 2 orang dan kelas III dua orang,”Akbar menuturkan realitas yang terjadi di SMP Satu Atap, Wagrahi kepada kepada Ambon Ekspres, Sabtu (13/3).

SMP Satu Atap Waegrahe yang berada di desa Waegrahi, kecamatan Fenaleisela danau Rana. Berdinding dan berlantai papan. Memiliki tiga ruang belajar. Satu ruangan lainnya dipakai sebagai kantor. Beratapkan zenk. Dibangun tahun 2012. Saat ini, jumlah murid sekolah ini sekitar 50 orang.

Pada awal diaktifkan, sekolah ini memiliki 3 orang guru honorer dan kepala sekolah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tapi, seiring berjalan waktu, dua guru honorer terpaksa berhenti mengabdi. Ini disebabkan, kepala sekolah jarang masuk sekolah, lebih banyak di kota Namlea.

Kemudian gaji guru-guru tersebut kurang lebih selama tiga tahun tak dibayar lunas. Mereka hanya mendapatkan gaji enam bulan. Itupun dicicil. Permasalahan inilah yang kemudian menyebabkan dua guru berhenti mengajar.

Beruntung sekolah ini masih memiliki seorang guru perempuan. Jena Waemese, namanya. Setelah dua guru lainnya berhenti mengajar, justru Jena gigih melanjutkan tugasnya sebagai guru yang ingin mencerdaskan anak bangsa di danau ranah.

Bahkan, suatu ketika, lanjut Akbar, masyarakat Waegrahe mencoba membongkar sekolah tersebut karena kecewa dengan tingkah kepala sekolah yang tidak memperhatikan guru, siswa dan kepentingan sekolah. Tapi, Jena dan suaminya kukuh untuk mempertahankan sekolah itu.

“Saat kami tanyakan ibu Jena Waemese, dia  mengatakan, bahwa tetap akan bertahan mengajar di SMP Satu Atap Waegrahe. Tapi beliau tidak pernah diperhatikan oleh kepala sekolah. Karena itu, beliau seperti sudah putus asa. Sekarang beliau sudah berhenti mengajar,”tutur Akbar.

Keputusan Jena berhenti mengajar cukup beralasan. Ia mempunyai dua anak dan suaminya yang tinggal di kota Namrole. Ia sudah lama meninggalkan keluarganya hanya untuk menjadi Guru di SMP tersebut.

“Kalau saya mengajar, siapa yang akan melihat keluarga saya. Siapa yang akan memperhatikan suami dan anak saya. Karena itu, saya memilih untuk berhenti atau tidak lanjut sebagai guru,”ungkap Akbar meniru ucapan Jena saat mereka berbincang mengenai kondisi sekolah dan proses belajar mengajar.

Ketika Ibu Jena memutuskan untuk berhenti mengajar itulah, sekolah SMP Satu Atap Waegrahe ditutup. Kurang lebih lima bulan sudah sekolah itu ditutup. Sekarang telah ditumbuhi rumput ilalang. Tidak ada aktivitas didalamnya.

Saat Akbar dan teman-temannya kesana untuk mengajar dan menyalurkan buku-buku mata pelajaran yang dikumpul dari donatur, hanya sekitar lima siswa yang masih punya keinginan besar untuk belajar. Sebagian siswa lainnya, membantu orang tua menambang emas di lokasi pertambangan.

“Pada saat kami datang kesana untuk mengajar, masih tersisah 5 orang siswa yang punya niat untuk belajar. Kelas I satu orang, kelas II 2 orang dan kelas III dua orang. Sebagian ke lokasi tambang. Ada juga terkesan malu-malu untuk belajar bersama kami,”kata dia.

Kondisi SD Negeri Waegrahe juga memprihatinkan. Masalahnya seperti di SMP Satu Atap, yaitu kekurangan guru. Para guru honor itu berhenti mengajar karena tak digaji. Sekolah ini juga kekurangan buku, papan tulis meja dan kursi serta papan dan pensil untuk siswa kelas III yang akan mengikuti ujian Mei mendatang.

Tak hanya itu, didalam ruangan kelas tidak ada gambar Garuda Pancasila. Foto Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla juga tidak terlihat. Lantai dari papan pun mulai rusak, karena sudah lama tidak diperbaiki.

Akbar menduga, kemungkinan akibat kekurangan guru dan mandegnya aktivitas belajar menyebabkan sebagian siswa yang mereka ajak untuk belajar bersama, tidak mengetahui nama negara Indonesia. Para siswa ini hanya tahu nama desa, kecamatan, dan kabupaten Buru.

“Saya sempat bertanya kepada mereka, ini negara apa? mereka tidak tahu. Mereka hanya menjawab, ini Buru. Saya juga sempat tanya nama provinsi, namun mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu desa Wagrahi, kecamatan Fena Leisela, kabupaten Buru. Kalau provinsi dan Indonesia, mereka tidak tahu. Memang cukup miris,”ungkap mahasiswa asal kecamatan Waeapo itu. 

(Kondisi fisik SMP Satu Atap Waegrahe, Desa Waegrahe, Kecamatan Fena Leisela, kabupaten Buru, Maluku yang tidak terus. Sekolah ini ditutup sejak beberapa bulan lalu karena tidak guru. (dok. Himkab)

Sejak Dulu

Masyarakat yang bermukim di kawasan Danau Ranah, sejak dahulu memang tak diperhatikan dengan serius oleh pemerintah daerah Buru. Beberapa desa disana, seperti Waegrahe, Wasi, Erdapa, Kaktuan dan Waimite, belum teraliri listrik dan jaringan telekomunikasi. Juga pendidikan. Padahal, usia kabupaten itu sudah menginjak 15 tahun.

Waimese, salah satu mahasiswa Waegrahi mengatakan, hingga sekarang sekolah di desa-desa masih berdinding dan berlantai papan. Ia mengaku, kekurangan guru memang bukan dari sekarang,  tapi sudah sejak dulu.

Memang ada guru yang ditugaskan dari dinas ke sekolah-sekolah yang ada di danau ranah. Namun, guru-guru itu tidak melakukan tugas sesuai dengan tanggung jawab dan sumpah janji guru.

Ia juga menuturkan pengalamannya sewaktu mengikuti ujian nasional tahun 2004. Kala itu, ia dan teman-temannya sesama peserta ujian, harus berjalan kaki dari desa Waereman ke Sub Rayon di SD Waemana Baru selama tiga hari untuk mengikuti ujian nasional.

“Saya bisa katakan bahwa, guru-guru ini sudah melanggar kode etik guru Indonesia,”ungkap mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di kota Ambon itu.

Masalah pendidikan di Danau Ranah bukan hanya kekurangan guru. Namun buku, seragam dan sarana prasaran penunjangannya juga tidak ada. Kondisi ini dialami Haris Waimese, siswa kelas 6 SD Waegrahe.

Saat Haris diajak oleh relawan pengajar dari Himpunan Mahasiswa Buru untuk belajar bersama dengan siswa-siswa lainnya, ia mengaku malu karena tak memiliki seragam. Sementara siswa lainnya memakai seragam.

Berdasarkan pengakuan beberapa siswa dan orang tua kepada mahasiswa Buru yang turun langsung ke Rana, biasanya para siswa tak memakai seragam lengkap untuk ke sekolah. Ada yang hanya memakai celana dengan kemeja biasa dan tanpa sepatu.

“Jadi, memang bukan hanya kekurangan guru. Tapi mereka juga membutuhkan seragam, papan oles, pensil, buku, dan papan tulis, dan meja dan kursi.  Apalagi pada bulan Mei, siswa kelas III sudah mengikuti ujian nasional,”kata Akbar.

Frans Tasijawa, anggota Himkab lainnya memastikan, sesuai hasil survei yang dilakukan, terdapat lima sekolah yang saat ini tidak melaksanakan aktivitas belajar mengajar, yakni SMP dan SD di desa Kaktuan, SD Waeraman, dan SD serta SMP Waegrahe.

SD Negeri Waereman memiliki 70 siswa, dan 5 diantaranya merupakan peserta ujian. Namun, sudah memasuki empat bulan sekolah ditutup, karena tidak ada guru mau mengajar.

Sedangkan aktivitas belajar mengajar di beberapa sekolah lainnya, tidak efektif. Terkadang, dalam satu minggu, aktivitas belajar hanya berlangsung dua kali. Rata-rata alasan para guru tidak mengajar, karena hanya diberi honor pemda Rp500 ribu setiap bulan.

“Bagaimana para guru ini bisa bertahan dengan honor hanya Rp500 ribu. Sementara, uang transport ke Danau Rana saja Rp100.000 per orang. Jadi, kalau sehari ke sekolah untuk mengajar, para guru ini menghabiskan uang Rp200.000. Belum lagi biaya hidup, serta kebutuhan lainnya. Jadi, kadang-kadang mengajar satu minggu, sebulan kemudian baru mengajar lagi. Satu bulan mengajar, dua bulan tidak jalan (libur),”kata Frans kepada Ambon Ekspres, Rabu (16/3) di Lapangan Merdeka, Ambon.

Tak hanya masalah kekurangan guru, kualitas guru juga tidak sebanding dengan harapan perbaikan pendidikan disana. Seperti di SD Negeri Waegrahe yang memiliki satu guru berijazah terakhir SD. Guru tersebut hanya mengajarkan mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia.

Masalah lainnya yang ditemui Frans dan teman-temannya adalah, dugaan penggelembungan data jumlah siswa. Menurut keterangan beberapa orang tua siswa, ada kepala sekolah yang sengaja menggelembungan data jumlah siswa untuk mendapatkan dana BOS dan beasiswa.

“Jadi, seakan-akan banyak siswa, tetapi fakta di lapangan sangat sedikit. Sehingga banyak kepala sekolah yang bermasalah. Misalnya kepala sekolah SD Waegrahe,” kata Frans.

Memantik Simpatik

Realitas yang memprihatinkan di Danau Rana memantik rasa simpatik dari puluhan anak muda. Selain Himkab yang sebelumnya kesana untuk memberikan bantuan sekitar 10 karton buku sekaligus mengajar selama satu minggu, kini sejumlah elemen mulai bergabung, diantara Lentera, Penyala Ambon, Yayasan Maluku Satu Darah, Bengkel Sastra Maluku (BSM), Maluccan Backpacker, DPD Granat Maluku dan lainnya.

Rabu, 16 Maret mereka menggelar rapat perdana untuk membentuk tim ‘Rana Untuk Indonesia.  Selasa besok, Tim Buru Bergerak akan mendatangi Danau Rana untuk melakukan survei untuk mengetahui setiap masalah-masalah secara detail.

“Karena ternyata bukan masalah pendidikan saja. Masalah-masalah lainnya seperti kesehatan dan lainnya, juga akan kami data. Setelah itu, kembali lagi ke Ambon untuk membicarakan solusinya,”kata ketua Tim Adi Ayyal.

Orang tua siswa dan mahasiswa Buru punya harapan, agar pemerintah Kabupaten Buru menanggapi secara serius permasalahan  di Danau Rana. Terutama mendatangkan guru untuk melakukan aktivitas belajar mengajar.

Ini penting. Pasalnya, Mei mendatang, ujian nasional akan dilangsungkan, sementara tidak ada kesiapan berarti. Mereka tak ingin pada saat datang waktu ujian, pihak sekolah hanya datang mengambil siswa yang dinilai sudah sedikit mampu untuk mengikuti ujian, tanpa dibekali sebelumnya.

“Itu harapan orang tua murid disana. Dan harapan kami sebagai mahasiswa, agar adik-adik kami saat ini bisa bersaing dengan anak-anak di kota, karena anak-anak danau Rana juga adalah generasi penerus bangsi. Tapi kenapa mereka mendapatkan pendidikan yang tidak layak seperti saat ini?,”kata Waimese.(**)

#‎RanaUntukIndonesia‬
#‎RanaButuhGuru‬

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun