Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Papalele, Tak Sekedar Berdagang

30 November 2015   08:40 Diperbarui: 30 November 2015   09:42 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maya dan teman-temannya tak punya banyak impian dari hasil berjualan dengan sistem dan cara seperti ini. Sebagai pedagang kecil,  mereka memperbiasakan diri menghemat. Untuk kebutuhan rumah tangga. Yang paling penting, adalah masa depan pendidikan anak-anak.

Dia berprinsip, tiada hari tanpa berjualan. Terkecuali hari Minggu. Berteriak dari lorong ke lorong. Juga rumah kopi, sudah menjadi kebiasaan. Penghasilannya sangat tergantung minat orang berbelanja. Tapi, diakuinya, sehari tak kurang dari Rp100.000.

”Karena itu, baik panas mau hujan, kami tidak perduli. Semuanya demi pendidikan anak-anak kami. Dan juga demi kebutuhan rumah tangga. Kami keluar dari rumah pagi dan pulang malam. Tergantung barang-barang laku terjual,”tutur Maya lagi.

Tak hanya di AY Patty, pemandangan yang sama juga terlihat di lorong antara kantor Pos dan kantor Pajak, jalan Pattimura, Sabtu, 10 Oktober. Hari itu, saya mendapati mereka sedang berjualan. Tak lama kemudian, mereka membereskan barang-barang dan bergegas ke jalan raya menunggu angkutan ke terminal Mardika, karena sudah menjelang malam.

Sama seperti Maya dan oma Ona, mama Emy (60)  salah satu pedagang asal Negeri Kilang yang berjualan di lorong kantor Pos dan kantor Pajak itu, juga menjual isi kenari, langsat, duku, rambutan dan lainnya. Emy telah berjualan di emperan jalan dan toko sudah sekitar 35 tahun.

Dahulu, ia berjualan di dekat pelabuhan Yos Sudarso, pasar Mardika, dan di depan Swalayan Citra. Berakhir di lorong antara kantor Pos dan Kantor Pajak hingga saat ini. Kala itu, mereka sering diusir oleh petugas, karena pemerintahan Kota Madya Ambon sangat memperhatikan ketertiban dan kebersihan kota.

Tapi di lorong itu, mama Emy dan teman-temannya tak lagi diusir. Selain tempatnya di lorong, mereka juga tak membuat rumah payung, seperti beberapa perempuan Papele lainnya. Ia mengaku. hasil dari aktivitas yang dilakoni selama ini,  sangat membantu biaya sekolah anak-anaknya. “Saya mulai berjualan sejak anak saya belum bersekolah. Saat ini, dia sudah kawin dan mempunyai tiga orang anak. Sampai sekarang saya m
asih berjualan seperti ini,”ucapnya.  

**

Melakukan aktivitas ekonomi dengan cara menjajakan barang diatas trotoar dan lorong-lorong dan berkeliling kota, sudah menjadi mata pencaharian tradisional dan turun temurun. Karena itu, tak heran, kendati oma Ona sudah berumur 70 tahun, masih melakoninya.

“Kami orang Gunung yang punya mata pencaharian sehari-hari hanyalah berjualan seperti ini. Karena itu, apapun yang terjadi tetap kami berjualan. Dari dahulu hingga sekarang, kami tetap berjualan,”tutur mama Emy.

Kesaksian Emy diperkuat oleh hipotesa beberapa peneliti dan akademisi. Mereka mengemukan asumsi, bahwa khusus untuk Pulau Ambon, aktivitas ini hanya dilakukan oleh perempuan-perempuan dari desa-desa di Kecamatan Letisel. Salah satunya, Max Maswekan, akademisi fakultas ilmu sosial dan ilmu pemerintahan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM). Ia melakukan  studi terhadap Perempuan Papalele di Kota Ambon 2012 silam. Baik dari aspek ekonomi, sosial maupun budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun