Mohon tunggu...
Tachta Erlangga
Tachta Erlangga Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Biokimia di Jepang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jalan-Jalan di Mumbai (Part 1)

25 Juni 2015   20:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:35 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Di setiap kereta pasti punya gerbong khusus wanita, yang saya tengok kayaknya jauh lebih lenggang daripada gerbong biasa. Akhirnya dengan berat hati saya bilang ke si Ibu, ‘Ibu kayaknya bisa naik gerbong khusus wanita, kalau gerbong biasa ramai banget lo bu.’ ‘Tapi kamu bisa sendiri?’ ‘Tenang aja bu . Saya bisa kok’‘Ya udah kalau begitu good luck ya..jangan nyasar.’ Saya menjawab ringan ‘Oke bu.’ Jujur padahal waktu itu deg- degan bukan main. Akhirnya saya berpisah dengan si Ibu, Sehat- sehat ya Bu. (sambil mengusap air mata)

Di dalam kereta sendiri, saya akhirnya sukses menjadi pepes manusia selama lebih dari setengan jam. Untungnya karena stasiun saya berada di paling ujung, setelah hampir 40 menit perjalanan, gerbong sudah mulai lenggang. Kendati terdapat beberapa bangku kosong, saya memutuskan berdiri di samping pintu yang terbuka, mencari- cari udara segar. Sekalian ‘menikmati’ pemandangan dari perumahan kumuh yang berada di sepanjang rel kereta.

Di hadapan saya berdiri seorang om- om. Usianya mungkin sekitar 30 tahun. Tertarik dengan wajah asia timur saya, dia menyapa saya. ‘Hi, where are you going?’ ‘To churchgate.’ ‘Me too. Where are you from?’ ‘Guess from where’ ledek saya. Mata laki- laki itu berputar. ‘Japan?’.’Wrong.’ ‘China.’ Saya menggeleng. ‘Korea? Or Thailand? Malaysia?’’No.’. ‘Ahh I think now I got the answer.’ ‘Seriously?’ Mata saya melotot, sangsi sekaligus berharap dia akan menjawab dengan benar. ‘Of course. You’re from…Nepal, rite? Hahahaha. Anyway, I’m very sorry about the earthquake’

Laut mana laut. Ingin saya bilang ‘ke laut aja lo pak’ tapi sayangnya di sekitar kami daratan semua.

‘I’m Indonesian.’ Akhirnya saya lelah dengan tebak- tebakan yang berujung sakit hati lantaran muka saya yang memang ga mirip melayu. ‘Ohh, this is your first time to Mumbai?’ Saya mengangguk. ‘Mumbai is a very big place. Yet it’s crowded. This is also your first time to ride the railway?’ Saya mengangguk lagi. ‘Then where do you stay here?’ ‘I plan to have one-day trip around the city before going back to my country. ‘ ‘So I guess you gotta go back to the airport in the evening?’ ‘Yes’. Ini om- om kepo banget, pikir saya.

Ternyata dia cuma mau kasih saran, kalau mau balik ke Anderi Station, lebih baik saya ambil line nomor satu dari churchgate station, soalnya kereta disana berhenti di Anderi sebagai tempat pemberhentian terakhir. Jadi saya ga perlu takut kelewatan. Dia juga bilang kalau bisa balik sebelum jam 5, soalnya setelah itu bakal rame banget. Saya berterima kasih atas sarannya. Sampai stasiun kami mengobrol banyak tentang sistem kereta disini yang pintunya masih terbuka, hingga tentang turnamen cricket yang sedang heboh- hebohnya saat itu (kalau kita bulutangkis, olahraganya orang india itu cricket).

Tak lama kemudian saya sampai di Church Gate station. Bersiap untuk menjelajahi kota yang ternyata,  penduduknya sangat ramah ini.

*bersambung*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun