Oleh Tabrani Yunis
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, bahkan orang luar Aceh, mungkin masih  ingat dengan sebuah label, icon, atau slogan pendidikan di daerah ini. Apa yang membuat kita ingat adalah karena label, icon atau label itu, karena sering digaungkan oleh masyarakat Aceh sendiri, terutama mereka para pemburu kekuasaan atau jabatan Nomor satu dan dua di daerah ini.  Dua kata yang dilabelkan atau ditambal di sektor pendidikan Aceh oleh dua calon Gubernur Aceh saat itu.  Icon pendidikan yang menjadi bagian dari visi dan misi  Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah kala menjual visi dan misi dalam rangka merebut hati rakyat, untuk meraup suara dan dukungan mendapatkan kursi kekuasaan di Aceh. Kedua kata itu, yang mungkin dianggap sangat menjual atau lalu adalah " Aceh Carong".
Aceh Carong, menjadi sangat popular di kalangan masyarakat Aceh karena Aceh Carong adalah harapan masyarakat Aceh dan harapan itu dijawab dalam visi dan misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Irwandi Yusuf dan Nova Irwansyah saat berkompetisi dan selama Irwandi Yusuf dan Nova dinobatkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Program Aceh Carong dianggap sebagai obat penenang yang bisa membuat harapan orang Aceh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Maka, kala itu . Program ini merupakan program andalan dari 15 program unggulan Pemerintah Aceh lainnya seperti  tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017 - 2022.
Mimpi membangun pendidikan Aceh di era Irwandi Yusuf ini diwujudkan oleh pasangan Gubernur ini dalam berbagai program.  Sebagaimana diungkapkan oleh  Wakil Gubernur Aceh saat itu, Nova Iriansyah. Ya, Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah saat membuka kegiatan Internalisasi skema-skema pembiayaan infrastruktur dan penggalian potensi calon proyek KPBU di Aula Serbaguna, Banda Aceh, Senin 25 September 2017 seperti diberitakan oleh Aceh Bisnis, 14 Juli 2019 bahwa "  Aceh Carong fokus pada program peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia, di antaranya dengan meningkatkan bantuan beasiswa anak yatim dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, dari sebelumnya Rp1.8 juta menjadi Rp2.4 juta per orang per tahun.  Untuk menunjang pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Pemerintah Aceh telah membangun 17 gedung SD, SMP/MTsN, dan menambah 54 ruang kelas belajar serta 6 paket laboratorium dan ruang praktikum.
Selain itu, untuk mendukung Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan penunjang kegiatan belajar, Pemerintah Aceh melakukan pengadaan komputer sebanyak 2.838 unit dan laptop 82 unit serta server sebanyak 84 unit.
Nah, bila kita simak dari laporan tersebut, mimpi dan harapan masyarakat Aceh secara perlahan terwujud karena mendapat fasilitas pendidikan yang sangat membantu Pembangunan pendidikan Aceh yang berkualitas. Apalagi selain paparan tersebut, program Beasiswa Aceh Carong yang gemanya begitu besar, membuat masyarakat merasa terobati dengan perhatian Pemerintah Aceh yang tinggi, walau dalam perjalanan program beasiswa Aceh Carong tersebut berselimak dengan masalah, seperti tidak tepat sasaran,  penyelewengan  serta kelanjutan dan outcome dari program tersebut. Namun, banyak masyarakat Aceh dan mungkin dari luar Aceh yang bisa menikmati hikmah dari program itu.
Selain itu, mungkin bisa pula dikatakan bahwa upaya untuk mencapai visi Aceh Carong tersebut telah diwujudkan dalam anggaran pendidikan Aceh yang konon terbesar  dibandingkan dengan SKPA lainnya. Tahun 2013 ini saja anggaran Dinas Pendidikan berjumlah 2.7 triliun lebih: Tentu ini dana yang cukup fantastis. Masih menempati rangking pertama dari jumlah anggaran Pembangunan Aceh.  Besarnya dana anggaran pendidikan menjadikan Dinas Pendidikan menjadi  dinas yang  menggiurkan bagi para pemburu posisi Kepala Dina di level Provinsi. Ya, Dinas Pendidikan menjadi dinas yang basah dan lembab dan membuat  banyak orang meliriknya.
Bisa dibayangkan ya, andai jabatan Kepala Dinas ini dilelang ke pasar dunia kerja, pasti banyak peminat dan tinggi  grade harga lelangnya. Apalagi harus lulus fit and proper test.  Jadi wajar saja bila seorang Kepala Dinas yang sudah ditunjuk memimpin Dinas ini akan berupaya sekuat -kuatnya untuk tidak digeser ke Dinas lain. Bila tergeser, bisa menangis dalam waktu lama. Oleh sebab  itu diperlukan kekuatan ekstra. Apalagi bila yang menjabatnya memiliki mental menghalalkan segala cara atau mental making?
Mengapa begitu? Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa besarnya anggaran Dinas Pendidikan Aceh juga menjadi lahan produktif untuk meraup cuan, karena banyak dana yang dikelola untuk sarpras dan proyek lainnya. Bagi orang-orang yang orientasi bisnis, besarnya anggaran ini adalah peluang untuk mendapatkan keuntungan besar yang menjadi prinsip bisnis yakni mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Apalagi merujuk kepada ungkapan orang bijak, nafsu mengajar kekuasaan itu mematikan akal sehat.
Lalu, apakah selama ini dengan besarnya dana atau anggaran pendidikan Aceh, sudah linier dengan hasil yang dicapai? Ini lah pertanyaan yang selalu muncul di tengah-tengah masyarakat Aceh. Â Pertanyaan- pertanyaan yang terserak dalam diskusi-diskusi, seminar dan di dalam banyak tulisan serta pemberitaan di media cetak dan online dengan nada prihatin, kecewa bahkan tidak sedikit yang melemparkan kritik keras ke Dinas ini dan Pemerintah Aceh yang telah memberikan porsi anggaran terbesar dengan hasil yang minim. Akibatnya masyarakat atau rakyat yang merasa bahwa anggaran yang digunakan adalah anggaran yang bersumber dari rakyat itu, Â hanya bisa prihatin dan kecewa dan sekali-kali meronta menyampaikan aspirasi ke publik lewat berbagai media. Â Kekecewaan akibat berharap terlalu besar terhadap mimpi Aceh Carong dan yang didapatkan adalah kualitas semu dan hanya untuk membangun citra diri.
Sudah selayaknya Pemerintah Aceh melakukan evuluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas Pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Pemerintah Aceh pasti memiliki mekanisme evaluasi  Dinas Pendidikan Aceh, mulai dari perencanaan, program dan pelaksanaannya, serta capaian yang sudah dibuat. Ini sangat perlu untuk mengajak apakah visi dan misi Aceh Carong masih dijalankan atau sudah membuahkan hasil atau tidak, kecuali bila pasca Irwandi dan Nova berkuasa, semua visi dan misi Aceh Carong tidak digunakan lagi dan diganti dengan visi dan misi rezim baru.
Nah, bila Pemerintah Aceh  tidak mengevaluasinya , maka  tidak salah bila selama ini banyak penilaian masyarakat yang timpang terhadap Dinas Pendidikan Aceh.  Apalagi muncul banyak berita miring seperti  seperti kasus wastafel yang kini masih bergulir, maka  wajar pula kalau muncul banyak ungkapan di masyarakat seperti,  Misalnya, " Pendidikan Aceh hanya melahirkan orang-orang  yang gemuk di atas, ramping di bawah, atau yang berada di atas bahagia, di bawah menderita  seperti apa yang dialami oleh para guru honorer atau guru non PNS dan tenaga kependidikan lain yang harus me perjuangan nasib me untuk dibayar gaji, karena sudah tiga bulan tidak mendapatkan gaji. Ini sebenarnya adalah Ironi dan memilukan  di saat anggaran pendidikan Aceh melimpahkan.  Lebih ironis lagi,  saat ini banyak pula guru di Aceh yang terjerat  pinjaman online, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Yusri menyebutkan, pinjaman online (Pinjol) saat ini sangat banyak peminat. Umumnya kata dia, mereka berprofesi guru.  "Jumlah guru menggunakan pinjol sekitar 42 persen," kata Yusri, saat acara launching ATM Visa dan Mastercard di BSI UMKM Center Aceh di Banda Aceh, Rabu, 9 Agustus 2023. (AJNN 9 Agustus 2023).
Dengan kondisi guru Aceh seperti ini, tentu layak kita bertanya, ke mana saja dana anggaran pendidikan Aceh yang besar itu digunakan? Mengapa nasib guru yang menjadi ujung tombak keberhasilan pencapaian visi dan misi Aceh Carong, seperti tikus yang mati di lumbung padi?
Adakah pemerintah Aceh dan Dinas Pendidikan Aceh me perhatian kondisi buruk ini?
Ya, sekali lagi, bila Pemerintah Aceh tidak melakukan evalusi terhadap Dinas Pendidikan, tentu tidak salah bila banyak yang berkata bahwa  Pemerintah Aceh akhir-akhir ini semakin rendah komitmennya membangun pendidikan Aceh, khususnya
pada level atau jenjang pendidikan menengah atas (SMA, SMK) dan SLB.  Misalnya, Pemerintah Aceh yang tidak konsisten dengan regulasi yang dibuat sendiri. Pengangkatan kepala Dinas Pendidikan Provinsi yang berada di bawah payung Pemerintah Aceh yang telah ditetapkan melalui mekanisme Fit and proper test, tidak dilaksanakan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. Apalagi, pengangkatan kepala Dinas pendidikan Aceh akhir-akhir ini didasarkan atas kepentingan politik penguasa, terutama di era Irwandi dan Nova yang hingga kini masih belum clear. Karena tidak pula berbasis hasil penilaian baperjakat yang berbasis peningkatan karir. Sehingga menempatkan orang yang tidak layak menjadi kepala Dinas Pendidikan. Idealnya Dinas ini dipimpin oleh kepala Dinas yang mengerti akan masalah pendidikan Aceh, khususnya pada level menengah. Akibatnya,  pendidikan Aceh di level Menengah tersebut berjalan tanpa arah kiblat yang jelas dan terkawalnya pencapaian visi dan misi Aceh Carong yang digadang-gadangkan oleh rezim Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah.  Lebih penting lagi adalah agar Pemerintah Aceh tidak membiarkan pendidikan Aceh terus mengalami apa yang kita sebut sebagai bentuk disorientasi pendidikan.  Lalu Pertanyaan terakhir adalah dengan dana atau anggaran pendidikan Aceh yang besar tersebut, apanya meningkat? Kualitas pendidikan atau kualitas tas? Mari kita luruskan bersama agar kiblat pendidikan Aceh berada pada harus atau  rel ( track) yang diharapkan semua rakyat Aceh.
Tabrani Yunis
Pemerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H