Nah, bila Pemerintah Aceh  tidak mengevaluasinya , maka  tidak salah bila selama ini banyak penilaian masyarakat yang timpang terhadap Dinas Pendidikan Aceh.  Apalagi muncul banyak berita miring seperti  seperti kasus wastafel yang kini masih bergulir, maka  wajar pula kalau muncul banyak ungkapan di masyarakat seperti,  Misalnya, " Pendidikan Aceh hanya melahirkan orang-orang  yang gemuk di atas, ramping di bawah, atau yang berada di atas bahagia, di bawah menderita  seperti apa yang dialami oleh para guru honorer atau guru non PNS dan tenaga kependidikan lain yang harus me perjuangan nasib me untuk dibayar gaji, karena sudah tiga bulan tidak mendapatkan gaji. Ini sebenarnya adalah Ironi dan memilukan  di saat anggaran pendidikan Aceh melimpahkan.  Lebih ironis lagi,  saat ini banyak pula guru di Aceh yang terjerat  pinjaman online, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Yusri menyebutkan, pinjaman online (Pinjol) saat ini sangat banyak peminat. Umumnya kata dia, mereka berprofesi guru.  "Jumlah guru menggunakan pinjol sekitar 42 persen," kata Yusri, saat acara launching ATM Visa dan Mastercard di BSI UMKM Center Aceh di Banda Aceh, Rabu, 9 Agustus 2023. (AJNN 9 Agustus 2023).
Dengan kondisi guru Aceh seperti ini, tentu layak kita bertanya, ke mana saja dana anggaran pendidikan Aceh yang besar itu digunakan? Mengapa nasib guru yang menjadi ujung tombak keberhasilan pencapaian visi dan misi Aceh Carong, seperti tikus yang mati di lumbung padi?
Adakah pemerintah Aceh dan Dinas Pendidikan Aceh me perhatian kondisi buruk ini?
Ya, sekali lagi, bila Pemerintah Aceh tidak melakukan evalusi terhadap Dinas Pendidikan, tentu tidak salah bila banyak yang berkata bahwa  Pemerintah Aceh akhir-akhir ini semakin rendah komitmennya membangun pendidikan Aceh, khususnya
pada level atau jenjang pendidikan menengah atas (SMA, SMK) dan SLB.  Misalnya, Pemerintah Aceh yang tidak konsisten dengan regulasi yang dibuat sendiri. Pengangkatan kepala Dinas Pendidikan Provinsi yang berada di bawah payung Pemerintah Aceh yang telah ditetapkan melalui mekanisme Fit and proper test, tidak dilaksanakan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. Apalagi, pengangkatan kepala Dinas pendidikan Aceh akhir-akhir ini didasarkan atas kepentingan politik penguasa, terutama di era Irwandi dan Nova yang hingga kini masih belum clear. Karena tidak pula berbasis hasil penilaian baperjakat yang berbasis peningkatan karir. Sehingga menempatkan orang yang tidak layak menjadi kepala Dinas Pendidikan. Idealnya Dinas ini dipimpin oleh kepala Dinas yang mengerti akan masalah pendidikan Aceh, khususnya pada level menengah. Akibatnya,  pendidikan Aceh di level Menengah tersebut berjalan tanpa arah kiblat yang jelas dan terkawalnya pencapaian visi dan misi Aceh Carong yang digadang-gadangkan oleh rezim Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah.  Lebih penting lagi adalah agar Pemerintah Aceh tidak membiarkan pendidikan Aceh terus mengalami apa yang kita sebut sebagai bentuk disorientasi pendidikan.  Lalu Pertanyaan terakhir adalah dengan dana atau anggaran pendidikan Aceh yang besar tersebut, apanya meningkat? Kualitas pendidikan atau kualitas tas? Mari kita luruskan bersama agar kiblat pendidikan Aceh berada pada harus atau  rel ( track) yang diharapkan semua rakyat Aceh.
Tabrani Yunis
Pemerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H