Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Buku yang Terbengkalai Itu

11 Juli 2022   08:40 Diperbarui: 11 Juli 2022   11:45 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Setiap penulis mungkin mengimpikan bisa mewujudkan mimpi untuk meneribitkan buku karyanya. Menerbitkan buku, setebal apa pun, apakah menjadi best seller atau tidak, memang menjadi impian banyak orang, termasuk penulis sendiri. 

Ya, sejak sebelum mengawali aktivitas menulis di media massa pada tahun 1989, penulis sudah punya keinginan atau cita-cita menulis buku. Sangat ingin bisa menerbitkan buku-buku seperti apa yanh dilakukan Hamka, Muchtar Lubis, dan sederetan nama lain yang sudah banyak menulis buku, namun mimpi itu tidak akan pernah terwujud tanpa ada tulisan yang ditulis. Oleh sebab itu, agar menulis dan menerbitkan buku tidak hanya ada dalam angan, penulis memulai aktivitas menulis di medio Juni 1989. 

Tulisan pertama di media berupa tulisan yang dimuat di rubrik Opini. Saat itu, 14 Juni 1989 tulisan pertama dimuat di Harian Serambi Indonesia, surat kabar lokal yang kala itu mulai merambah dunia media cetak di Aceh.

Dengan dimuatnya tulisan yang mengangkat tentang permasalahan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, aktivitas menulis pun tumbuh subur, alias produktif. 

Semakin sering menulis dan dikirimkan ke media, semakin sering tulisan muncul di media. Juga semakin banyak jumlah tulisan yang bisa didokumentasikan. 

Selain bertambah jumlah tulisan, bertambah pula media yang memuat tulisan penulis kala itu. Ya, bermula dari Serambi Indonesia, lalu secara bertahap merangkak ke banyak media daerah (lokal), media terbitan Sumatera Utara seperti harian Waspada dan Analisis hingga kemudian bisa menebus media nasional,  harian Republika, Suara Pembaruan, hingga Kompas dan TheJakartapost dan lain-lain.

Hingga tahun 2004, sebelum bencana gempa dan Tsunami Aceh, penulis sudah menyimpan dokumen atau kumpulan tulisan sebanyak lebih kurang 400 an artikel yang telah dimuat. 

Sayangnya, malang tak dapat ditolak, bencana Gempa dan Tsunami meluluhlantakan sebagian pesisir Aceh, termasuk rumah dan kantor tempat penulis beraktivitas. 

Semua habis dan hilang disapu gelombang besar tersebut. Dengan hilangnya dokumen atau tulisan-tulisan tersebut, maka impian menerbitkan buku pun terbenam, dan buku pun tidak pernah ada.

Usai bencana Tsunami, sebagai sosok yang sudah sangat mencintai aktivitas menulis dan menulis sudah menjadi kebutuhan, bukan hobby, maka dengan modal pengalaman menulis di media ditambah dengan bekal sikap kritis dan produktif, penulis kemudian terus menulis dan menulis seperti yang penulis lakukan sebelum bencana Tsunami yang begitu dahsyat itu.

Alhamdulillah, semakin banyak tulisan yang penulis tulis dan dimuat di media cetak, sehingga tulisan-tulisan tersebut menjadi bekal buku untuk diterbitkan. 

Akhirnya sudah lebih seratusan artikel dan ditambah lagi dengan karya puisi. Sudah cukup syarat untuk dibukukan, terutama tulisan-tulisan berbentuk artikel opini yang bisa dikumpulkan untuk diterbitkan menjadi buku, begitu pula dengan puisi, bisa dikumpulkan menjadi antologi puisi. 

Bila itu dilakukan, maka impian menerbitkan buku akan terwujud. Andai bisa diwujudkan, buku ini akan menjadi hal yang sangat membanggakan. Sebab selama ini, setiap kali mendengar dan mengokuti acara peluncuran buku atau bedah buku teman-teman, selalu saja muncul rasa cemburu akan kehebatan teman-teman, sambil berkata dalam hati, "mengapa aku tidak punya buku? " Padahal jumlah tulisan yang terkumpul sudah bisa dijadikan buku.

Dorongan untuk membuat buku pun akhirnya dilakukan beberapa tahun lalu. Lebih kurang 10 tahun lalu sudah dikumpulkan dan diserahkan kepada editor yang merupakan teman sendiri. Sang editor telah mengerjakannya dengan memberi beberapa catatan. 

Editor pun menyerahkan konsep buku kepada penulis untuk dibaca dan melakukan perbaikan. Sayangnya, perbaikan itu pun tidak berjalan dengan baik. Karena sesungguhnya penulis memang ingin melepaskan semua urusan itu pada editor, namun kala itu editor pun sedang sibuk dalam program pendidikan S2-nya, buku itu tidak tertangani hingga ia menyelesaikan pendidikan S2 di luar negeri.

Impian dan semangat penulis untuk menyelesaikan buku hingga membuat dammy sudah dilakukan, bahkan penulis mendiskusikannya dengan penerbit lokal di Banda Aceh. 

Pada saat itu, sekitar 3 tahun lalu, belia meminta penulis menyusunnya kembali per bab, lalu mencari pakar pendidikan yang mau memberikan kata sambutan dan sejumlah sahabat penulis atau yang concern dengan isu pendidikan memberikan endorsement terhapdap buku tersebut. Namun, kembali terbenam, karena tidak sempat dan alasan lain.

Idealnya, ketika keinginan menerbitkan buku itu muncul, perlu langkah kongkrit yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Misalnya mencari editor yang bisa mengerjakan hingga tuntas, termasuk menghitung biaya atau ongkos yang harus disiapkan untuk editor dan keperluan lain, seperti biaya cetak, bila buku tersebut dicetak mandiri. 

Bila ingin dicetak oleh penerbit tertentu, maka langkahnya adalah mencari penerbit untuk ditawarkan dan membuat perjanjian dengan penerbit dan sebagainya. Tentu ada banyak langkah dan upaya lain yang bisa dilakukan untuk mewujudkan terbitnya buku tersebut. 

Namun, apa daya, sudah lebih 10 tahun, buku tersebut tidak terbit, kini terbengkalai dalam file document di komputer. Kalau pun ingin diproses kembali, akan diperlukan lagi update data yang aktual agar lebih sesuai dengan kondisi kekinian. Akhirnya, hingga kini, buku yang berjudul, "  Benang Kusut Pendidikan" hingga kini masih terbengkalai dan menjadi unpublished book.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun