Oleh Tabrani Yunis
Setiap penulis mungkin mengimpikan bisa mewujudkan mimpi untuk meneribitkan buku karyanya. Menerbitkan buku, setebal apa pun, apakah menjadi best seller atau tidak, memang menjadi impian banyak orang, termasuk penulis sendiri.Â
Ya, sejak sebelum mengawali aktivitas menulis di media massa pada tahun 1989, penulis sudah punya keinginan atau cita-cita menulis buku. Sangat ingin bisa menerbitkan buku-buku seperti apa yanh dilakukan Hamka, Muchtar Lubis, dan sederetan nama lain yang sudah banyak menulis buku, namun mimpi itu tidak akan pernah terwujud tanpa ada tulisan yang ditulis. Oleh sebab itu, agar menulis dan menerbitkan buku tidak hanya ada dalam angan, penulis memulai aktivitas menulis di medio Juni 1989.Â
Tulisan pertama di media berupa tulisan yang dimuat di rubrik Opini. Saat itu, 14 Juni 1989 tulisan pertama dimuat di Harian Serambi Indonesia, surat kabar lokal yang kala itu mulai merambah dunia media cetak di Aceh.
Dengan dimuatnya tulisan yang mengangkat tentang permasalahan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, aktivitas menulis pun tumbuh subur, alias produktif.Â
Semakin sering menulis dan dikirimkan ke media, semakin sering tulisan muncul di media. Juga semakin banyak jumlah tulisan yang bisa didokumentasikan.Â
Selain bertambah jumlah tulisan, bertambah pula media yang memuat tulisan penulis kala itu. Ya, bermula dari Serambi Indonesia, lalu secara bertahap merangkak ke banyak media daerah (lokal), media terbitan Sumatera Utara seperti harian Waspada dan Analisis hingga kemudian bisa menebus media nasional, Â harian Republika, Suara Pembaruan, hingga Kompas dan TheJakartapost dan lain-lain.
Hingga tahun 2004, sebelum bencana gempa dan Tsunami Aceh, penulis sudah menyimpan dokumen atau kumpulan tulisan sebanyak lebih kurang 400 an artikel yang telah dimuat.Â
Sayangnya, malang tak dapat ditolak, bencana Gempa dan Tsunami meluluhlantakan sebagian pesisir Aceh, termasuk rumah dan kantor tempat penulis beraktivitas.Â
Semua habis dan hilang disapu gelombang besar tersebut. Dengan hilangnya dokumen atau tulisan-tulisan tersebut, maka impian menerbitkan buku pun terbenam, dan buku pun tidak pernah ada.
Usai bencana Tsunami, sebagai sosok yang sudah sangat mencintai aktivitas menulis dan menulis sudah menjadi kebutuhan, bukan hobby, maka dengan modal pengalaman menulis di media ditambah dengan bekal sikap kritis dan produktif, penulis kemudian terus menulis dan menulis seperti yang penulis lakukan sebelum bencana Tsunami yang begitu dahsyat itu.