Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kembali ke Minyak Kelapa?

19 Februari 2022   22:00 Diperbarui: 19 Februari 2022   22:10 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi Jayakarta hotel Yogja. Dok. Pribadi

Oleh Tabrani Yunis


Tiba-tiba ingatan melayang-layang ke masa lalu, tatkala membaca berita-berita miris tentang nasib bangsa yang disebut dengan  "  Tanah surga"' Bayangkan saja, kayu dan batu pun jadi tanaman. 

Negeri yang terdiri dari ribuan pulau dan kaya dengan hasil laut pula. Kalau tidak tahu berapa luas wilayah Indonesia, tanya saja pada mbah Google. Mbah Google mencata bahwa luas NKRI (darat + perairan) adalah 8.300.000 km2; Panjang garis pantai Indonesia adalah 108.000 km; Jumlah pulau di Indonesia kurang lebih 17.504, dan yang sudah dibakukan dan disubmisi ke PBB adalah sejumlah 16.056 pulau. Menakjubkan bukan? Ya, Pasti.

Pokoknya, gemah ripah loh jinawi. Ya sangat kaya dengan berbagai kekayaan alam yang  begitu melimpah. Sungguh sangat berbahagialah orang-orang yang lahir dan hidup di Indonesia ini. Hidup dalam limpahan rahmat Allah yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Ya, berbahagialah. Mari kita rayakan kebahagiaan itu dengan suka cita. Bukan luka lara.

Ya. Kita patut bangga dan berbahagia, walau kekayaan yang kita miliki itu banyak yang kehilangan kedaulatan. Misalnya, kita bisa kehilangan kedaulatan atas laut atau pulau yang kita miliki. Kita juga kehilangan kedaulatan atas tanah yang luas kita miliki. 

Kita kehilangan kedaulatan atas perkebunan yang ada di negeri ini. Petani yang dianggap sebagai soko guru bagi pemenuhan kedaulatan pangan, juga hilang kedaulatan mereka atas produk pangan yang mereka produksi. Karena semua yang kita miliki, ternyata tidak mampu diurus sendiri. 

Negara kita tidak mampu mengelolanya, sehingga harus melepaskan semua harta benda yang berharga itu ke tangan pemilik modal yang kita sebut dengan pengusaha yang lebih tepat disebut kapitalis. Maka, ketika semua diserahkan ke tangan kapitalis domestik dan asing, maka semua kepentingan rakyat dikelola mereka. Percaya, bukan?

Buktinya ada di depan mata, ada di dapur kita, ada di mobil kita, ada kebun-kebun kita. Ya, ada di mana-mana. Bahkan akhir-akhir ini barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, BBM dan minyak goreng merupakan dua bukti bagaimana bangsa ini kehilangan kedaulatan akan hasil buminya. 

Kita bisa punya banyak sumber minyak dan gas, tetapi bangsa kita tidak mampu mengelolanya. Semua harus diberikan ke bangsa asing yang memiliki kemampuan. Kita harus mengikuti semua kebijakan mereka. Sehingga, kendati kenaikan harga BBM sering diprotes dan didemo sejak dulu, harga BBM dengan berbagai modus terus naik. 

Kita mau bilang apa? Kalau mau unjuk rasa, ujung-ujungnya berhadapan dengan pihak berwajib, pihak keamanan yang menyebabkan munculnya tindak kekerasan di kedua belah pihak, sesama anak bangsa.

Kini, ketika di negeri ini memiliki kebun sawit yang sangat luas, hampir di seluruh pulau di tanah air. Kompas.com, edisi 10 Januari 2022 memaparkan bahwa luas perkebunan sawit Indonesia. 

Selama 2014-2018, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 7,89 persen. Penyusutan kebun sawit hanya terjadi pada tahun 2016 ketika luas kebun kelapa sawit sedikit mengalami penurunan sebesar 0,5 persen atau berkurang seluas 58.811 hektar.
Cukup luas bukan?

Ya, tak dapat dipungkiri bahwa di tanah kita penuh sesak dengan pohon sawit, namun bukan milik bangsa ini, tetapi milik negara tetangga atau warga negara lain yang punya banyak uang. 

Wajar saja kalau di kebun sawit harga minyak goreng jauh lebih tinggi dibanding di negara tetangga Malaysia. Kompas.com, 09 Januari 2022 menulis, Ironi Penghasil CPO Terbesar Dunia, Harga Minyak Goreng Malaysia Rp 8.500 Per Kg, Indonesia Tembus Rp 20.000 Per Kg.

Sedih sekali bukan? Ya sangat sedih. Maka, wajar kalau saat ini pikiran berkelana jauh ke masa silam, masa penulis masih kecil di kampung  halaman di Manggeng, Aceh barat daya ( Abdya), Provinsi Aceh.

Teringat pada seorang perempuan tua yang kala itu sedang sibuk memasak di dapur kecil yang beratap rumbia di persimpangan gang di desa Padang, Kecamatan Manggeng, Aceh Barat Daya. Sambil menanak nasi, perempuan tua itu memanaskan minyak kepala di dalam sebuah kuali ukuran sedang di atas tungku kayu yang harus selalu ditiup agar api tetap menyala. 

Asap putih mengepul keluar dengan bau minyak yang menyengat membuat ia dan orang-orang yang lalu lalang terbatuk-batuk karena bau minyak itu. Padahal perempuan itu sudah memasukan beberapa iris jeruk nipis ke minyak panas itu untuk menghilangkan bau, namun memang minyak kelapa selalu mengeluarkan bau yang membuat orang batuk, saat dipanaskan, tetapi setelah bau hilang, segala macam gorengan tidak lagi berbau.

Ya, setelah bau minyak kelapa itu hilang, perempuan tua itu mulai menggoreng pisang-pisang yang dibaluti dengan adonan tepung yang akan dijual di warung-warung kopi di desa itu. Menggoreng pisang  dengan minyak kelapa untuk dijual di warung-warung itu menjadi pekerjaan utama perempuan tua itu yang dapat menopang hidupnya. Minyak kelapa telah menjadi bahan untuk menggoreng makanan.

Pikiran juga tertuju pada tempat pembuatan minyak kelapa yang diproduksi secara tradisional oleh hampir setiap keluarga. Keluarga-keluarga yang memiliki kebun kelapa atau pun tidak, sering membuat minyak kelapa secara tradisional. Mereka kelapa membuat minyak kelapa lewat proses permentasi ( dibusukan). 

Proses pembuatan minyak kelapa yang begitu mudah dan sederhana. Pertama kelapa yang sudah dikupas, lalu dikukur dan dimasukan ke dalam wadah seperti ember atau timba plastik yang besar. 

Kemudian ditutup dengan plastik transparan, dan disimpan atau dimalamkan beberapa malam hingga membusuk dan mengeluarkan minyak. Seringkali berulat, namun ulat itu tidak jadi masalah. 

Kelapa yang sudah dibusukan dan berminyak tersebut kemudian diperas dengan menggunakan alat pemeras yang dalam bahasa  Acehnya, peuneurah dan dalam bahasa Padang atau Minangkabau disebut kampo.

 Setelah diperas, maka didapatkanlah minyak kelapa dan dimasukan ke wadah seperti botol. Cukup mudah bukan? Ya mudah sekali. Dengan adanya minyak kelapa di setiap rumah, maka minyak tidak harus dibeli selalu.

Namun, zaman berubah. Minyak sawit mulai beredar dalam bentuk curah dengan harga yang lebih murah dari pada minyak kelapa. Masyarakat pun kemudian secara perlahan beralih ke minyak goreng sawit. 

Proses disrupsi pun melanda minyak kelapa. Masyarakat meninggalkan minyak kelapa dengan berbagai alasan. Bahkan hingga kini minyak kelapa semakin tidak ditemukan. Kalau pun ditemukan, dengan harga yang lebih mahal.

Nah, saat ini, ketika masyarakat, termasuk masyarakat penanam sawit tercekik dan terjepit serta dihimpit oleh harga minyak goreng yang mahal dan langka, akankah kembali lagi ke proses pembuatan minyak kelapa? Ach,capek deh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun