Setelah sekian lama, hanya menjadi penikmat sajian Harian Kompas, lalu ketika sudah memulai aktivitas menulis di media yang baru digeluti pada bulan Juni 1989 yang diawali dengan menulis opini di Harian Serambi Indonesia yang saat itu masih pada masa awal harian ini terbit, penulis mulai terdorong untuk mengembangkan sayap, ingin menulis di media nasional yang terbit di Jakarta.Â
Kala itu, keinginan mengirimkan tulisan ke Kompas begitu besar, namun keberanian masih sangat kecil, sehingga untuk bisa mengirimkan tulisan ke Harian Kompas, penulis mencoba mengirimkan tulisan ke media cetak lain yang terbit di Jakarta, sembari terus mengirimkan tulisan ke media terbitan Medan, Sumatera Utara, seperti Harian Waspada dan Harian Analisa Medan.Â
Penulis harus melatih diri di media yang ada di Aceh dan Sumatera saat itu. Sementara keberanian mengirimkan tulisan ke Harian Kompas masih terkubur lumpur. Mengapa begitu. Ya image media besar ini yang sering terdengar ya sulit tembus. Penulisnya adalah orang-orang yang mungkin bukan sekaliber penulis yang berada di ujung paling barat negeri ini. Wajar saja kalau apa yang ada di benak penulis serta kasak-kusuk di kalangan penulis lokal, sangat sulit untuk tembus atau berat masuk tulisan ke Kompas.
Dalam hal mengirimkan tulisan ke media cetak saat itu, kita memang tidak boleh cepat putus asa. Apalagi ke media nasional seperti Kompas. Nah, dengan semangat menulis yang terus diasah saat itu, penulis juga mencoba mengirimkan tulisan ke media nasional lainnya.Â
Penulis masih ingat ada satu tulisan yang berjudul " Dosa Pemerintah Terhadap Madrasah" dimuat di Harian Republika pada tanggal 3 Oktober 2003. Lalu, penulis juga mencoba mengirimkan tulisan  berjudul " Ketika Pendidikan Semakin Elitis" ke media nasional lainnya, yakni Suara Pembaruan. Tulisan itu juga dimuat di Suara Pembaruan. Begitu bahagianya bisa menulis di media nasional saat itu.Â
Padahal, untuk bisa tembus di media nasional terasa begitu berat. Tentu bukan karena media nasional yang membuat kita sulit menembusnya, tetapi sesungguhnya karena kualitas tulisan kita yang belum sesuai dengan persyaratan yang dibuat atau diberlakukan oleh masing-masing media tersebut.
Walaupun berat, bukan berarti tulisan kita tidak bisa masuk ke media nasional, tersebut, tulisan kita pasti akan dimuat bila sudah sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Apalagi bila semangat untuk bisa tembus pun terus bergelora dan kemauan untuk terus meningkatkan kualitas tulisan dan selalu aktual, media- media tersebut pasti akan memuatnya. Â
Pengalaman penulis sendiri saat itu sudah lebih dari 20 kali mengirimkan tulisan ke Harian Kompas, namun hampir selalu mendapat email atau amplop pengembalian tulisan tersebut dengan alasan yang sudah jelas.Â
Penulis tetap mencoba cari jalan untuk bisa hinggap di salah satu sudut halaman Kompas. Alhamdulilah, di tahun 2006, sebuah tulisan tentang pendidikan berhasil nyangkut di rubrik Didaktika dengan judul, Berjanjilah, Nanti Kutagih".Dimuatnya tulisan ini, menambah hangatnya semangat menulis.
Maka suatu ketika,  momen yang lebih dan sangat menggembirakan adalah ketika tulisan penulis yang penulis kirim  ke Kompas, hanya beselang dua hari, dua  tulisan itu langsung dimuat lagi di rubrik Opini Kompas pada tahun 2006 tersebut yang berjudul, " Kala Guru Seperti Buruh" .Â
Penulis sangat ingat kala itu masih pukul 06.00 pagi di Aceh masih gelap, tiba-tiba Pak Eka Budianta menelpon dari Jakarta, sambil berucap, " Hebat kamu, tulisanmu dimuat di Kompas hari ini". Â Ya, begitu bahagianya hati saat itu, karena tulisan itu pun banyak dibaca orang dan banyak kawan yang mengabarkan tentang tulisan tersebut.