Harusnya menulis soal disabilitas lebih pas atau cocok momentumnya di hari Disabilitas Nasional, maupun di hari disabilitas Internasional.
Ya, harusnya begitu, tetapi pada saat itu ternyata mood menulis sedang berada di titik nadir atawa titik terendah, sehingga keinginan menulis juga ikut padam.Â
Padahal ide untuk menulis soal disabilitas sudah di pikiran, bahkan sudah ditulis di dalam catatan atau note. Bukan hanya sudah ditulis satu atau dua paragraf, namun karena hilang mood, akhirnya tinggal sebagai catatan kecil saja. Begitulah ya. Kadang menulis bisa dilakukan dalam waktu singkat, kadang pula bisa teekubur dalam sebuah catatan hingga tak tersentuh.
Nah, malam ini sambil menyeruput segelas Avocado Esoresso di sebuah warung kopi, Gerobak Arabicca Coffee yang terletak di Jalan Prof Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh yang hanya berjarak lebih kurang 50 meter dari POTRET Gallery, ide itu mencuat kembali ketika melewati sebuah usaha bengkel.Â
Bengkel itu milik Andri yang berstatus sebagai lelaki tuna wicara. Ia tidak bisa berbicara seperti orang-orang normal, namun ia lebih cocok dikatakan sebagai disabilitas yang sempurna. Mengapa demikian? Â Dikatakan demikian karena ia sesungguhnya memiliki kesempurnaan hidup, karena walau ia digolongkan sebagai sosok disabilitas, ia adalah sosok yang sangat mandiri.
Hebatnya Andri yang kini sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia dua tahun yang lahir dari rahim ibu yang juga tuna wicara.Â
Andri membuka bengkel sepeda motor yang mempekerjakan pekerja dari kalangan disabilitas dan juga orang normal ( bukan disabilitas. Ia memiliki kapasitas atau kemampuan dan ketrampilan prima.
Bayangkan sajam seorang tuna rungu dan tuna wicara, bisa membuka bengkel yang tergolong maju. Bukan hanya itu yang ia bisa lakukan, tetapi juga bisa bertukang. Buktinya ia bisa menyemen lantai tokonya sendiri. Untuk anaknya? Ia mendidik anaknya dengan sangat baik.
Selain Andri, ada pula seorang tuna wicara yang juga temannya Andri. Lelaki bertubuh agak tinggi dan berambut pendek ini, setiap hari ia melakoni pekerjaan sebagai tukang parkir di sebuah cafe, Bambu Rotan, yang menjual nasi uduk.Â
Cafe yang banyak dikunjungi orang yang ingin makan. Di sini, lelaki tuna wicara yang masih berusia muda dan memiliki satu orang anak dan satu istri yang juga disabilitas. Lelaki ini menjalankan aktivitas seharian sebagai tukang parkir. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak hanya sebagai tukang parkir, ia juga mengumpulkan kardus sebagai additional Income atau pendapatan tambahan sambil menjaga parkir.
Masih banyak lag teman Andri yang senasib, penyandang disabilitas, tetapi bisa mandiri. Tidak seperti kebanyakan orang yang tidak dikategorikan sebagai disabilitas, karena secara fisik lengkap dan sempurna, bahkan sudah sarjana dan menjadi penganggur.Â