Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Milenial Melirik Sektor Pertanian?

28 November 2021   08:20 Diperbarui: 28 November 2021   08:24 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tabrani Yunis

Hari ini, tiba-tiba keinginan menulis muncul lagi tatkala membaca tulisan- tulisan teman di media sosial dan media lainnya. Salah satu tulisan yang memantik keinginan adalah ketika membaca judul " Ketika Milenial Melirik Sektor Pertanian" di akun resmi Kompasiana edisi 04 November 2021. Mengapa tulisan ini ini menarik? Salah satu jawabannya adalah karena judulnya. 

Sebuah judul yang menimbulkan sikap skeptif, karena terasa rada aneh. Ya aneh saja bila membaca atau mendengar bahwa para milenial bisa melirik atau memberikan perhatian kepada sektor pertanian. Bukan hanya itu, bahkan judul tulisan respon terhadap tulisan tersebut ikut dalam nada bertanya, Milenial Melirik 

Sektor Pertanian? Mengapa demikian?

Begitulah gambaran keraguan akan tertariknya kaum milenial terhadap sektor pertanian. Nah, apa yang membuat munculnya sikap skeptif dan rasa aneh dengan ungkapan milenial tertarik di sektor pertanian itu dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. 

Pertama, selama ini banyak yang memahami bahwa dunia kaum milenial adalah dunia digital yang menjanjikan prospek kehidupan yang begitu mudah dan pesat. 

Sementara sektor pertanian tidak menjanjikan prospek yang lebih gemerlap dan cendrung menghabiskan banyak tenaga, waktu dan biaya. 

Sementara gaya hidup milenial adalah gaya hidup kekinian yang serba instant alias cepat saji. Dapat dipastikan bahwa terjun ke sektor pertanian membutuhkan kesabaran, ketekunan, passion, berani mengambil risiko gagal dan memang harus selalu gigih serta tekun serta menguras tenaga dan pikiran. Ya, tidak instan.

Kedua, secara emperis, pengalaman selama ini di kalangan orang tua yang sejak lama hidup, berprofesi petani cenderung menyiapkan anak-anak mereka keluar dari sektor pertanian. 

Para orang tua tersebut menyekolahkan anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, seperti menjadi pegawai negeri, bisa sebagai guru, polisi, tentara dan lainnya di luar sektor pertanian. 

Kecuali kalau tidak mendapatkan pekerjaan, kembali ke kampung halaman, menganggur. Celakanya, setelah menjadi sarjana, merasa minder untuk bekerja menggarap sawah atau ladang yang dahulu ditinggalkan.

Selain itu, bukan pula hal yang aneh bila banyak orang tua, demi sebuah pekerjaan atau untuk biaya menyekolahkan anak-anak mereka, rela menjual sawah dan ladang. Bayangkan, agar bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian, para orang tua tersebut menjual sawah ladang yang menjadi tumpuan hidup. 

Ini sebenarnya merupakan satu dari sekian banyak indikator bahwa sektor pertanian semakin tidak menarik bagi banyak orang, apalagi kaum milenial yang memilih cara hidup milenial ini?

Ketiga, pekerjaan di sektor pertanian saat ini sudah semakin banyak diambil alih oleh mesin. Semua kegiatan pertanian dikerjakan oleh mesin, mulai dari penyiapan lahan, hingga pada proses akhir masa panen. 

Seorang petani tidak lagi sebagai petani yang seperti dahulu kita lihat, mengerjakan semua hal dengan tenaga sendiri. Sementara sekarang semua sudah diongkoskan dan membutuhkan dana yang cukup besar untuk segala kebutuhan sejak awal masa penyiapan lahan. 

Menjadi petani, tidak lagi dengan menggunakan tenaga manusia, semua sudah serba mesin. Lalu, milenial bagaimana?

Ya, milenial bukan generasi X atau baby boomers yang hidup pada masa lalu, Generasi milenial adalah generasi sekarang yang memiliki gaya hidup yang sama sekali berbeda dengan gaya hidup baby boomers. 

Nah, ketika berbicara soal generasi milenial, penulis teringat akan sebuah buku yang pernah penulis beli dan baca beberapa waktu lalu, buku berjudul Millenials kill everything" yang ditulis oleh Yuswohardi dkk. 

Buku yang menggambarkan tentang perilaku dan gaya hidup kaum milenial. Maka, ketika kita bicara soal milenial dan sektor pertanian, ada banyak pertanyaan yang bakal menggelinjang dalam pikiran.

Jadi, pasti ada banyak alasan  dan masalah lain yang bisa kita identifikasi ketika membaca sektor pertanian dan gaya hidup kaum milenial saat ini dan di masa depan. Ada banyak keraguan dari kalangan tua akan perilaku dan gaya hidup kaum milenial saat ini.

Namun, demikian bila para milenial memang melirik sektor pertanian, maka kaum milenial akan memilih sektor ini dengan cara garapan  mereka sendiri yang berbeda, sesuai dengan perubahan perilaku dan gaya hidup. 

Misalnya, milenial tidak terjun sebagai petani-petani konvensional, tetapi petani modern yang menggunakan teknologi sebagai cara mengelola sektor ini. 

Semua akan bergeser, mengalami disrupsi, lewat digital disruption dan milenial disruption. Pertanyaannya kembali, masih menarikkah sektor pertanian bagi kaum milenial?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun