Stay at home, adalah anjuran yang sangat popular selama masa merebaknya wabah Covid 19, selain anjuran lain mencuci tangan, social distancing, physical distancing dan lain-lain yang merupakan tidakan preventif untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Di mana-mana orang menyebutkan dan menyuruh agar semua masyarakat bersembunyi di rumah saja, hingga bekerja dari rumah dan belajar di rumah yang wujudnya adalah diliburkan aktivitas perkantoran, sekolah bahkan sampai pembatasan pada kegiatan ibadah.Â
Nah, anjuran di rumah saja (stay at home)  menjadi pilihan berat, karena ketika semua berada di rumah, pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan di luar rumah tidak bisa dilakukan dan otomatis menimbulkan  banyak masalah di tengah masyarakat. Berdiam di rumah di satu sisi banyak manfaatnya dan merupakan jalan selamat dari wabah covid 19, namun menjadi musibah apabila kebutuhan hidup sehari-hari tidak ada. Sehingga ada yang bertanya, pilih yang mana, terinfeksi corona atau lapar di rumah? Ini menjadi pilihan berat dan sulit, ibarat memakan buah simalakama.Â
Pemberlakuan PSBB di Jakarta misalnya, menyebabkan banyak orang yang kalang-kabut, bukan hanya orang-orang fakir miskin, tuna wisma, atau para pemulung yang hidup mereka menggelandang di belantara kota Jakarta, tetapi juga membuat orang-orang kaya, pengusaha-pengusaha besar terjerembab dalam kerugian, karena bisnis mereka tidak jalan. Pabrik-pabrik industry, mall dan pusat-pusat perdagangan diguncang begitu berat oleh Corona.Â
Ternyata gegap gempita corona begitu dahsyat. Padahal, dalam pengalaman kita selama ini, seperti halnya apa yang dialami oleh kebanyakan masyarakat Aceh pada masa konflik Aceh yang berkepanjangan, jumlah korban di Aceh jauh lebih besar dibandingkan korban corona saat ini. Begitu pula dahsyatnya peristiwa tsunami yang mengorbankan lebih dari 200.000 jiwa, ditambah dengan kehancuran harta benda, namun suasananya memang sangat berbeda.Â
Kini, anjuran agar semua orang tetap di rumah saja, atau stay at home saja sudah membuat masyarakat di semua Negara kalang kabut. Banyak orang yang merasa semakin tidak betah berada di rumah, walau sering kita dengar ungkapan home sweet home, atau going east and west, but home is the best, ternyata tidak demikian. Mengapa demikian? Jawabannya, karena ini memang berbeda. Stay at home yang ini, tidak seperti kata pepatah Inggris, karena stay at home ini bukan dilandasi oleh rasa suka atau keinginan, tetapi karena terpaksa. Ya terpaksa keadaan atau situasi yang mengancam kesehatan jiwa.Â
Orang-orang akan banyak yang stress, karena tidak bisa bertahan di rumah terus. Maka, ketika pemerintah mengeluarkan berbagai larangan yang membatasi gerak langkah masyarakat, banyak yang menolak atau mencari cara untuk tetap keluar rumah. Â Padahal, seperti kata Doni Mardono, Kepala GTPPC bahwa cepat atau lambatnya pandemic Covid 19 ini tergantung pada tingkat kepatuhan kita dalam melaksanakan protocol kesehatan.Â
Selayaknya kita patuhi semua protocol dan kebijakan yang telah dikeluarkan atau dibuat oleh pemerintah, sembari kita mencari jalan mengatasi masalah-masalah yang muncul sebagai akibat dari pemaksaan kita agar tetap di rumah saja. Insya Allah, bila ada usaha yang diiringi doa kepada Allah, akan selalu ada jalan keluarnya. Yang harus kita ingat bahwa selalu ada hikmah di balik bencana ini. Semoga Ramadhan ini, Corona sudah berhenti. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H