Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru Honorer dan Nasibmu Kini

2 Mei 2019   23:13 Diperbarui: 3 Mei 2019   21:03 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Casman, guru honorer asal Jatigede, Sumedang, Jawa Barat yang telah mengajar sejak tahun 1996. Casman mengajar siswa kelas 4 SDN Ciawi, Jumat (3/5/2019) pagi. AAM AMINULLAH/KOMPAS.com

Oleh Tabrani Yunis 

Guru honorer itu, guru yang mulia bukan? Mengapa mulia? Ya, tentu saja. Karena guru honorer itu mulia bila dilihat dari apa yang mereka lakukan, yakni mengajar, mendidik, mencerdaskan dan membangun akhlak generasi bangsa. Guru honorer itu artinya adalah guru yang mendapat  bayaran atau upah atau gaji dari apa yang ia lakukan. 

Apalagi kalau melihat makna guru "honorer", sebenernya berasal dari kata "honor" yang dalam Bahasa Inggris sering diartikan sebagai "menghargai" atau sering pula disebut dengan "mendapat kehormatan". Bisa diartikan bahwa mereka adalah orang-orang atau guru-guru yang mendapat kepercayaan dan kehormatan untuk menjadi guru. Dengan kehormatan tersebut, maka para guru honorer tersebut juga hendaknya mendapat kehormatan dalam hal mendapatkan bayaran yang layak. 

Bayaran yang tidak merendahkan mereka. Idealnya memang demikian. Namun, bila kita lihat fakta yang ada selama ini, para guru honorer tersebut, bukan malah dihargai atau diberikan kehormatan dan mendapatkan bayaran yang terhormat, tetapi selama ini nasib guru honorer tidak semanis atau seindah namanya. 

Dikatakan demikian, karena nasib guru honorer yang mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia, baik di sekolah swasta, maupun sekolah negeri, selama puluhan tahun masih dalam kondisi yang tanpa ada kepastian. Nasib guru honorer masih memilukan. Ya sangat memilukan. Karena mereka dalam menjalankan tugas dan pengabdian di sekolah-sekolah, banyak yang tidak mendapat bayaran atau upah yang layak. Upah yang mereka terima masih jauh dari standar UMR. 

Dok. Lampung.com
Dok. Lampung.com
Bayangkan, ada yang hanya mendapat gaji Rp 500.000 per bulan, bahkan ada yang di bawah itu, misalnya Rp 250.000 sebulan. Pertanyaannya adalah, layakkah ini? Tentu saja sangat jauh dari standar kelayakan dan juga jauh dari standar UMR. Persoalan nasib buruk yang melanda guru honorer bukan saja itu, tetapi banyak hal lain yang juga memprihatinkan. 

Mereka sering tidak mendapat upah pada waktunya. Kadang-kadang dan bahkan sering mereka mengalami keterlambatan gaji sampai 3 bulan atau lebih. Lebih berat lagi, apabila gaji yang mereka terima berdasarkan amprahan per tiga bulan atau lebih. Jadi, secara finansial, guru honorer memang sangat tidak mendapat perhatian dan penghargaan. Secara nirfinansial pun guru honorer tidak beruntung.

Anehnya, kendatipun nasib guru honorer hingga saat ini masih belum beruntung, namun seperti tampak masih sangat menjanjikan. Padahal bila dilihat dari upah yang diterima, jauh dari cukup. Bahkan sangat rendah, tetapi jumlah guru honorer setiap tahun akan terus meningkat jumlahnnya, seperti disebutkan di atas. 

Pada tahun 2017 yang lalu, seperti ditulis Kompas.com, (21/03/17) berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di sekolah negeri terdata sebanyak 674.775 guru honorer. 

Tahun 2019 ini, bisa jadi jumlah guru honorer masih sangat besar, sejalan dengan bertambah banyaknya sarjana pendidikan yang dilahirkan oleh lembaga-lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan di banyak Universitas di Indonesia, baik negeri maupun swasta. 

Bila melihat data guru yang non PNS, ya guru honorer yang sudah mendapat sertifikasi saja saat ini ada sebanyak 217.778 orang. Pertanyaan kita adalah berapa banyak guru non PNS yang honorer itu yang belum mendapat sertifikasi? Bisa jadi masih sangat besar. 

Dewi Sufiana dalam tulisannya di Serambinews.com, 31 Januari 2019 mengutip data kementerian Pendidikan dan kebudayaam bahwa jumlah guru honorer se Indonesia saat ini adalah 1.5 juta orang yang terdiri dari 735.000 guru bukan PNS di sekolah Negeri dan 790.000 guru bukan PNS di sekolah swasta. Guru honorer tersebut berstatus K2 alias harus mengikuti tes CPNS agar menjadi PNS. Jumlah ini belum termasuk guru honoret lainnya yang tidak terhitung dalam kategori yang belum tersangkut namanya dalam catatan yang menjadi prioritas pemerintah.

Nah, melihat besarnya jumlah guru honorer tersebut, muncul pertanyaan kita, mengapa banyak orang yang memilih menjadi guru honorer ketika mereka sudah tahu bahwa upah atau gaji sebagai guru honorer tersebut, sebenarnya sangat tidak menjanjikan. Lalu, mengapa masih banyak orang memilih menjadi guru honorer? Bila kita lakukan identifikasi apa yang melatarbelakangi dan menyebabkan masih tingginya minat orang menjadi guru honorer, maka paling kurang ada dua faktor penyebabnya. 

Pertama, para guru honorer tersebut melihat bahwa peluang untuk diangkat menjadi guru PNS masih tetap ada, walau kadang ia sudah mengajar lebih dari 10 tahun dan usianya sudah lebih dari 35 tahun, masih tetap menunggu ada pengangkatan. Kedua, mereka tetap bertahan menjadi guru honorer, walau honorernya sangat kecil dan tak menentu itu, karena tidak bisa melakukan pekerjaan lain. 

Sehingga, apapun kondisinya tetap terus menanti ada peluang untuk diangkat. Idealnya, kalau sudah lebih dari 5 tahun menjadi guru honorer dan menerima pendapatan yang tidak rasional itu, guru honorer harus mengubah haluan. Ya harus mencari jalan lain untuk mengubah nasib. Misalnya dengan memulai aktivitas berwirausaha dengan cara kecil-kecilan dahulu. 

Bisa dengan membuka usaha di bidang jasa, bisa usaha di bidang produksi. Bahkan bisa menggunakan kemampuan menulis, seperti menulis buku atau yang lainnya sebagai kegiatan wirausaha. Namun, apa daya, mereka sudah sangat menggantungkan harapan untuk diangkat menjadi guru PNS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun