Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quick Count, Not Too Quick-quick

18 April 2019   19:53 Diperbarui: 18 April 2019   20:32 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tabrani Yunis 

Usai nyoblos alias memberikan suara di bilik -bilik TPS kemarin, para pemilih umumnya tidak sabar menunggu hasil perhitungan suara. Jelas tidak mungkin langsung jadi, apalagi perhelatan masih belum selesai. Bukrinya, banyak yang sedang kepanasan antre di TPS-TPS yang sedang dilanda suhu tinggi. 

Bukan hanya itu, di banyak tempat ada banyak TPS yang belum mendapat surat suara. Jadi, bagaimana bisa memperoleh hasil perhitungan suara secara kilat? Jelas tidak mungkin, ya toh? Dikatakan demikian, ketika kita masuk bilik pencoblosan, kita tidak membawa hanya satu kerta pilihan dengan gambar dua pasangan calon Presiden, Jokowi dan Makruf Amin dengan pesaingnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. 

Kalau hanya itu, pasti tidak lama. Tetapi seperti yang kita bawa ke bilik pemungutan suara kemarin, ada 5 kertas suara yang gambar atau pilihannya lumayan banyak. Satu kertas suara saja, akan memakan waktu satu menit. Apalagi dengan lima kertas dengan banyak nama dan partai yang harus dicari secara teliti. Kita dalam mencoblos saja harus sabar bukan? 

Ya memang harus saba, karena kalau tidak sabar mencoblos, maka pasti kita akan salah memilih. Padahal, yang mau dicoblos nama atau gambar si pulan, tetapi yang tercoblos, malah si pulin. Kalau begini yang terjadi, maka hasilnya juga akan lain. Sabar mencoblos, sabar menunggu hasil perhitungan sangat perlu. Kasihan kita melihat panitia yang  tidak bisa tidur seperti kita. Mereka harus begadang, hingga pagi karena mendapat tugas menghitung suara. Padahal, kata Rhoma Irama, Begadang, jangan begadang, kalau tiada artinya. 

Begadang boleh saja, kalau ada artinya. Begitu lirik lagunya bukan? Nah, mendengar lagunya Rhoma saja harus bersabar, kalau mau menikmatinya, apalagi menunggu hasil perhitungan yang valid dan teliti, seperti perhitungan suara Pilpres ini?  Kita sebagai pemilih masih untung, masih bisa tidur nyenyak di rumah. Maka, kuncinya sabar. Orang sabar itu, katanya disayangi Tuhan. Kita tahu, bahwa setiap pemilih ingin mendapatkan hasil segera. Namun, itu harus kita simpan sebagai harapan saja. 

Semua orang tahu,bahwa kita pemilih ingin cepat-cepat bisa menghitung suara. Maka, di kalan animo dan harapan kita, sebagai masyarakat pemilih yang ingin cepat-cepat mendapat hasil, kemajuan ilmu dan teknologi yang pesat, akhir-akhir ini, seperti pada Pemilu sebelumnya telah membantu keinginan kita untuk mempercepat kesimpulan pihak mana yang menang. Kita kemudian diperkenalkan dengan sisten atau cara perhitungan cepat. 

Cara itu disebut dengan Quick Count. Dalam Bahasa Indonesia disebut dengan hitungan cepat. Bila kita  merujuk kepada Wikipedia, Quick Count adalah sebuah metode verifikasi hasil pemilihan umum yang dilakukan dengan menghitung persentase hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel. Berbeda dengan survei perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau survei exit poll, hitung cepat memberikan gambaran dan akurasi yang lebih tinggi, karena hitung cepat menghitung hasil pemilu langsung dari TPS target, bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden. Selain itu, hitung cepat bisa menerapkan teknik sampling probabilitas sehingga hasilnya jauh lebih akurat dan dapat mencerminkan populasi secara tepat. 

Pada Pemilu sebelumnya, keinginan masyarakat dan pihak yang berkompetisi, juga tidak sabar dan semua merasa terbantu dengan quick count ini. Apalagi, hasil hitungan cepat atau QC, tidak jauh berbeda dengan Real Count, semua pihak merasa sangat terbantu, sambil menunggu hasil perhitungan dari pihak yang berwenang, yakni KPU yang waktu perhitungannya jauh berbeda. Wajar saja, kalau QC dianggap sebagai alat yang dapat membantu mempercepat kesimpulan dari hasil pemilihan. 

Karena tingkat validitas dan kepercayaan tinggi terhadap QC, banyak orang terus mengikuti perkembangan di QC, dibandingkan menunggu hasil perhitungan Real Count oleh KPU. Perkembangan yang kemudian terjadi, QC tidak hanya dilakukan oleh satu pihak, tetapi muncul banyak pihak yang melakukan QC. Hampir semua stasiun televisi di tanah air melakukan Quick count. Bahkan kedua belah pihak yang bersaing, masing-masing memiliki team yang melakukan QC, agar mereka bisa melakukan klaim bahwa pihak mereka yang memenangkan Pilpres dan sekaligus untuk membentuk opini public untuk melegitimasi kemenangan perolehan suara.

Celakanya,ada dua versi hasil quick count Pilpres yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televise yang menimbulkan berbagai macam kecurigaan yang bermuara kepada kondisi yang tidak kondusif, karena kedua belah pihak bisa saja saling klaim sebagai pemenang, sementara KPU yang memiliki wewenang atau perhitungan tersebut belum mengeluarkan atau mengumumumkan secara resmi hasil perhitungan. Buktinya, sejak hari pertama banyak kegaduhan yang terjadi.

 Ada televise yang memperlihatkan hasil atas kemenangan Jokowi dan pasangannya, ada pula yang meperlihatkan hasil Prabowo sebagai peraih suara terbanyak, padahal prosentase suara yang terkumpul belum maksimal. Wajar saja, banyak orang yang menganggap QC yang dilakukan oleh sejumlah stasiun televisi tersebut tidak valid dan tidak bisa dipercaya. Apalagi, masyarakat tahu siapa pemilik media elektronik tersebut. Sehingga, sebelum kesimpulan hasil Pilres dilakukan, masyarakat sudah berkesimpulan bahwa statsiun TV yang ada tersebut tidak bisa dipercaya. Celaka bukan? 

Sayang sekali, tujuan dari QC yang harusnya membantu mempercepat proses perhitungan suara yang menjadi dambaan pihak yang sedang bersaing, baik pasangan calon Presiden, maupun timses serta masyarakat pendukung masing-masing paslon. Namun, sayang ketika QC yang juga seharusnya merupakan produk pengetahuan yang  ilmiah,berguna dan sangat membantu, menjadi alat survey yang tidak dipercaya serta tidak perlu diperdebatkan, akhirnya menjadi alat yang membuat kisruh, karena ada margin of error, hingga KPI meminta semua stasiun TV yang mengadadakan QC menghentikan  tayangan QC dan RC. 

Pertanyaan kita selanjutnya, apakah dengan menghentikan penayangan QC dan RC di televisi tersebut akan menyelesaikan masalah? Tampaknya tidak segampang itu bisa selesai. Bisa jadi, perdebatan semakin panjang. Hingga kisruh di tingkat para paslon pun akan berkembang. Begitu pula di level massa pendukung yang tidak mau menerima kenyataan. Selayaknya, semua pihak harus bersabar menunggu hasil perhitungan akhir dari pihak yang diberikan kepercayaan menyelenggarakan Pilpres dan pemilu. Bila semua mau bersabar, Pilpres dan pemilu yang berjalan damai ini, bisa lebih bermatabat. Ingat, Quick count bukan berarti terlalu cepat-cepat menghitung. Kalau hitungannya salah lagi?  Juga akan menimbulkan masalah dan kegaduhan bukan. Ingat, QC is not too quick-quick count.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun