Ada sebuah pepatah lama yang seringkali kita dengar di tengah-tengah masyarakat kita, walau sekarang pepatah itu mungkin sudah memudar di telinga kita, sejalan dengan perubahan zaman.Â
Pepatah itu berbunyi, " Jauh berjalan, banyak dilihat. Lama hidup, banyak dirasa". Artinya, semakin jauh kita berjalan dan menjalani kehidupan, semakin banyak yang dapat kita lihat atau saksikan. Semakin lama kita hidup, maka semakin banyak hal yang kita rasakan dan kita alami. Pejalanan dan kehidupan yang jauh dan lama itu, akan lebih bermakna apabila bisa memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Termasuk perjalanan yang sedang aku dan anak-anak berserta istriku lakukan saat ini.
 Apa yang sedang aku lakukan lewat tulisan ini adalah membuat perjalanan atu tour ke dua Negara bersama dua anakku, Ananda Nayla dan Aqila Azalea Tabrani Yunis serta isteriku Mursyidah Ibrahim, bisa menambah banyak apa yang dilihat, bisa menambah banyak yang bisa dinikmati.Â
Lalu, agar the traveling literacy ini lebih bermakna dan bermanfaat, semua yang dilihat, didengar, dinikmati selama dalam perjalanan yang hanya empat hari ini, aku abadikan dalam tulisan, sebagai pengganti oleh-oleh yang biasanya dalam bentuk barang atau benda.Â
Oleh-oleh yang diberikan kepada teman, sahabat, saudara dan kerabat yang kerap bertanya atau meminta oleh-oleh atau souvenir dari sebuah daerah atau sebuah Negara.
Untuk membeli banyak souvenir atau oleh-oleh di luar negeri, tentu bukan hal yang cukup berat bagi banyak orang, termasuk aku dan keluarga, karena terbatasnya kemampuan finansial dan perbedaan kurs mata uang kita, yakni Rupiah yang nilainya jauh lebih rendah dibandingkan negera-negera lain, seperti di Malaysia dan Singapore.Â
Selain keterbatasan dan perbedaan nilai tukar mata uang, ada persoalan lain yang selalu kita hindari agar jumlah barang yang kita belanjakan tidak membuat bagasi kita overload. Â
Kalau overload, risikonya adalah akan menambah besar biaya bagasi yang kita bawa. Masalahnya, bagasi kita di pesawat itu mahal. Oleh sebab itu, Aku jadikan tulisan ini sebagai oleh-oleh atau souvenir yang bisa dibagi kepada banyak orang, tanpa harus mengeluarkan dana yang besar. Selain itu, tulisan ini menjadi catatan bagi kedua anakku yang masih kecil.Â
Paling tindak, nanti ketika mereka besar, mereka tidak mengetahui semua objek wisata yang pernah dikunjungi, lewat tulisan ini bisa menjadi pengingat buat mereka. Begitulah caraku membuat pernajalan ke sebuah daerah atau Negara.
 Ini adalah perjalanan traveling literacyhari kedua yang diawali dengan mengunjungi The River of life, dekat lapangan Merdeka, Kuala Lumpur dan dilanjutkan dengan mengunjungi Chocolate Kingdom, pusat souvenir coklat yang terkenal di Kuala Lumpur. Â
Dua tempat yang memberikan pembelajaran yang berbeda. Pesona dan pembelajaran The River of Life, yang memberikan banyak pelajaran tersebut, sudah aku tulis dan posting di Kompasiana dua hari lalu. Sementara the Chocolate Kingdom, menjadi bagi dari tulisan ini.
 The chocolate Kingdom, bagiku bukan tempat yang cukup menarik bagiku untuk aku kunjungi, tetapi berbeda dengan kedua anakku, Ananda Nayla dan Aqila Azalea Tabrani Yunis. Bagi mereka, melihat coklat, apalagi berada di dalam chocolate kingdom, mereka merasa histeris dan ingin bisa membeli coklat sebanyak-banyaknya.Â
Mereka, belum mengerti makna perbedaan harga dalam ringgit dengan rupiah. Apalagi ketika mereka melihat harga coklat hanya 150 ringgit, lalu dalam benan mereka ya sama saja dengan Rp 150,-. Padahal tidak.
Pertanyaan ini muncul, karena aku teringat dengan pengalamanku berkunjung ke pabrik coklat di Swiss pada bulan Agustus 2005. Pertanyaan yang sama, adalah dari mana bahan baku kakao untuk membuat coklat di Swiss itu. Aku yakin, bahwa banyak bahan kakao untuk membuat coklat itu datang dari negaraku Indonesia.Â
Ya, sudahlah. Tapi ini adalah pelajaran penting. Walau sebuah Negara tidak mempunya tanaman kakao di negaranya, tetapi mereka bisa menanam kakoa di negera lain, termasuk Indonesia. Ya lihat saja bagaimana mereka menanam sawit di tempat kita. Atas nama investasi, apapun bisa dilakukan. Selain itu, aku juga melihat, siapa yang paling menggeliat dalam menjalankan binis seperti the chocolate kingdom ini. Orang Melayu? Hmm, tunggu dulu.
Hal kedua yang menjadi catatan penting bagiku adalah bagaimana the chocolate kingdom menjual produk coklatnya yang dibeli oleh setiap pengunjung yang datang berombongan dan silih berganti. Aku membayangkan banyaknya omset penjualan yang hanya dengan mendatangak para wisatawan ke tempat itu.Â
Maka, ketika melihat ramainya wisatwan yang datang, aku kala berada di ruang-ruang display coklat di the Chocolate Kingdom, pikiraanku melayang ke Aceh. Ya, pabrik coklat Socolate di Paru, Pidie jaya, Aceh. Ya, andai saja  orang datang ke pabrik coklat di Paru, Pidie jaya itu seperti yang datang ke the Chocolate Kingdom itu, pasti pabtik coklat di Paru, Pidie jaya itu akan benar-benar Berjaya.
 Nah, tulisan ini sebenarnya bukan ingin bercerita panjang lebar tentang the chocolate kingdom itu, tetapi tentang banyak hal lain. Tentu saja tentang semua objek wisata yang telah dan bakal dikunjungi termasuk batu cave. Oleh sebab itu, selain masa kunjungan sambil belanja coklat itu, harus cepat selesai, ada objek wisata menarik lain yang perlu dikunjungi.
 Usai berbelanja coklat di The Chocolate Kingdom bersama rombongan tour yang dilakukan oleh Alsa Trvel ini, bus persiaran yang kami tumpangi melaju meninggalkan kota Kuala Lumpur. Bus Persiaran melaju dengan cepat dan lancar lewat jalan yang tidak berlubang-lubang itu. Kami bergerak menuju sebuah objek wisata sejarah yang dikenal dengan gua batu atau batu cave. Sebuah objek wisata yang ramai dikunjungi orang. Konon, tempat ini disebut-sebut sebagai tempat wisata yang sangat popular di Selangor, Malaysia.
 Ketika bus persiaran mendekat dengan batu cave, dari kejauhan tampak sebuah patung besar berwarna emas berdiri tegak di sebelah kanan jalan yang kami lewati. Tampak banyak sekali orang yang datang berkunjung ke tempat ini. Terbukti, batu cave sebagai lokasi kuil Hindu, Batu cave  mampu menarik perhatian ribuan umat dan terutama selama festival tahunan agama Hindu, Thaipusam.Â
 Menurut informasi yang terkumpul,  Batu cave yang berbentuk bukit kapur yang terletak sebelah utara Kuala Lumpur, mempunyai tiga gua utama yang berfungsi sebagai kuil dan tempat pemujaan agama Hindu.Â
Maka, ketika kita masuk ke objek wisata ini, banyak orang tertarik untuk melihat tangga dan kuil yang berwarna warni, dibangun dengan  sangat sarat nilai seni. Sebuah patung besar yang terletak dekat tangga besar dan tinggi itu, menjadi daya tarik bagi pengunjung.Â
Maka, disebutkan bahwa atraksi utamanya adalah patung dewa Hindu yang besar di pintu masuk, selain tangga curam sebanyak 272 anak tangga untuk bisa melihat cakrawala pusat kota yang menawan. Â Bahkan di sini, monyet-monyet banyak bermain-main di sekitar gua, dan tempat ini juga populer untuk panjat tebing. Lukisan dan gambar adegan Dewa-Dewi Hindu juga bisa dilihat di dalam Gua Ramayana.
Maka, tidak heran, apabila di lingkungan atau wilayah gua ini banyak dihuni oleh orang-orang keturunan India. mereka menjual bunga, membuka usah lainnya dan juga sebagai pengelola tempat ini. Keberadaan mereka merupakan kekayaan budaya bangsa Malaysia, yang hingga kini terus terjaga dan menjadi objek wisata yang dikunjungi oleh ribuan orang setiap hari. Tidak ubahnya seperti apa yang kita saksikan di candi Borobudur di negeri kita, yang sangat besar tersebut.
 Jadi, tempat wisata peninggalan Hindu ini, sudah menjadi laboratorium  kehidupan bagi setiap orang yang datang setiap kali ada hal yang menggenang dan sebagainya.  Sangat banyak pelajaran dari traveling literacy yang bisa dipetik dan dibagikan kepada pembaca. Namun, dari kunjungan singkat ini. pasti singkat pula hasil yang diperoleh. Bagaimana pendapat anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H